Seseorang tak bisa bebas memilih tempat lahirnya, tapi Ia bebas memilih tempat tinggalnya. Itu betul. Dunia ini begitu luas untuk jadi tempat tinggal seseorang. Namun, menjadi warga negara bukanlah perkara sederhana. Bukan semata-mata soal raut muka, paspor, atau tanda-penanda administrasi lainnya. Hakikat menjadi warga negara berkaitan dengan hak dan kewajiban yang dimilikinya. Itulah sebab mengapa setiap negara membentuk aturan khas tentang kewarganegaraannya.
Maka, hak dan kewajiban itulah yang sesungguhnya terkait dalam polemik kewarganegaraan Menteri ESDM Arcandra Tahar. Adalah hak dia untuk menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) karena asas ius soli dan ius sanguinis-nya paripurna terpenuhi. Kita juga tak akan menyoal haknya untuk memilih tempat tinggal, atau ketika Ia dengan sadar telah memutuskan untuk mengubah statusnya menjadi warga negara Amerika Serikat yang selama 20 tahun terakhir menjadi tempat tinggalnya.
Yang kita persoalkan adalah bahwa, jika benar Arcandra telah tercatat sebagai warga negara Amerika Serikat maka sesuai ketentuan dalam UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI, Ia otomatis kehilangan statusnya sebagai warga negara Indonesia. Undang-undang dan peraturan kita tidak mengenal status kewarganegaraan ganda. Dengan demikian, semua jenis dokumen penanda kewarganegaraan Arcandra sebagai WN secara otomatis tidak sah alias tidak berlaku lagi.
Namun, sejauh kabar, Ia tidak melapor ke KBRI untuk mencabut paspor Indonesia-nya. Alih-alih Arcandra malah memperpanjangnya dan kemudian tetap menggunakannya sebagai dokumen pendukung perjalanannya kesana-sini, termasuk beberapa kali ke Indonesia. Artinya, Ia dengan sadar telah menggunakan dokumen negara secara ilegal dan tanpa hak, sehingga dapat terkategori sebagai pemalsuan identitas.
Oleh karena itu, jika kabar itu benar adanya, pemerintah mestinya segera melakukan investigasi untuk mengklarifikasi persoalan ini. Masyarakat tentu tak puas bila pemerintah hanya menyatakan lewat Mensesneg Pratikno, bahwa Arcandra masih memegang paspor RI. Selain tak memuaskan, pernyataan itu juga terkesan sebagai upaya untuk menutupi “kesalahan” yang mungkin memang telah terjadi.
Dan nampaknya kesalahan itu telah terjadi. Setidaknya, pernyataan Menkopolhukham Wiranto dan Menkumham Yasonna Laoly mengonfirmasi soal kewarganegaraan Arcandra sebagai warga Amerika Serikat. Bahkan andai pun benar bahwa yang bersangkutan telah melepaskan kewarganegaraan Amerika-nya sebagaimana kata Menkumham, itu pun tak serta merta menjawab persoalan dan memperjelasnya. Hal itu justru menegaskan bahwa saat ini yang bersangkutan tidak punya kewarganegaraan (stateless). Karena, untuk menjadi WNI kembali, Arcandra atau siapapun harus mengajukan permohonan resmi kepada Pemerintah RI dan memenuhi syarat-syarat khusus sesuai UU Kewarganegaraan, termasuk telah tinggal di Indonesia selama lima tahun berturut-turut.
Oleh karena itu, ketegasan pemerintah mengenai kewarganegaraan Menteri ESDM menjadi penting karena hal ini bukan sebuah kelakar atau candaan, tapi persoalan amat serius karena menyangkut tegaknya kedaulatan Indonesia sebagai sebuah negara. Selain itu, soal ini juga secara khusus berimplikasi pada jabatan Arcandra saat ini. Masyarakat kini mempersoalkan haknya pada jabatan itu mengingat undang-undang Kementerian Negara jelas menyatakan bahwa salah satu syarat menjadi Menteri adalah berstatus WNI.
Saat dilantik jadi Menteri, kita mendengar Arcandra mengucap sumpah untuk menegakkan Konstitusi dan melaksanakan segenap undang-undang dan peraturan yang berlaku untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia. Kini, kita menjadi ragu. Pada 2012 lalu, di depan pejabat pemerintah Amerika Serikat, Ia telah mengucap sumpah setianya kepada negara itu.
Jika benar, maka inilah sumpah Archandra ketika menjadi warga negara Amerika Serikat: “Saya, dengan ini menyatakan bahwa saya sungguh-sungguh bersumpah dan sepenuhnya meninggalkan dan mengharamkan semua kesetiaan saya pada negara asing, penguasa asing,dan kedaulatannya. Bahwa saya akan mendukung dan membela Konstitusi dan hukum dari Amerika Serijat terhadap semua musuh, Asing dan domestik; bahwa saya akan menanggung iman yangg benar dan setia kepada yang sama; bahwa saya akan bertanggung jawab atas nama Amerika Serikat bila diperlukan oleh hukum; bahwa saya akan melakukan perang di angkatan bersenjata Amerika Serikat bila diperlukan oleh hukum; bahwa saya akan melakukan pekerjaan bagi Kepentingan Nasional dibawah arahan sipil bila diperlukan hukum; dan bahwa saya mengambil kewajiban ini bebas, tanpa paksaan dan tekanan atau tujuan penghindaran… Demi Tuhan.”
Persoalan ini, bagaimanapun, pada akhirnya telah mencoreng pemerintah khususnya Presiden Joko Widodo yang akan dinilai tidak cakap dan tidak hati-hati ketika memilih Arcandra sebagai salah satu menteri-nya. Sebelum membuat keputusan untuk jabatan strategis setingkat menteri, Presiden tentu telah menimbang banyak hal ketika memilih nama-nama, termasuk mendengarkan masukan dan membaca catatan yang disodorkan oleh pejabat atau instansi terkait lain.
Jadi, Presiden tak perlu ragu-ragu untuk mengambil sikap dan tindakan tegas kepada Arcandra serta siapapun yang terlibat dalam sengkarut persoalan ini.
Kita tidak benci Arcandra. Kita justru bangga dengan segala capaian di bidang yang digelutinya selama ini di dunia internasional. Bahwa dia memilih tinggal dan memilih jadi warga negara selain Indonesia, itu juga haknya. Kepentingan dirinya sebagai profesional mungkin dianggap lebih penting ketimbang kebanggaannya sebagai Warga Negara Indonesia.
Kita hanya sangat kecewa karena Ia tidak jujur mengenai hal itu, terutama karena Ia telah dipercaya sebagai pejabat publik untuk mengurus salah satu bidang yang teramat penting dan strategis bagi kelangsungan bangsa dan negara ini.
Sekali lagi, ini bukan soal muka Padang atau muka manapun atau paspor yang konon masih valid seperti dikatakan Arcandra. Melainkan soal kedaulatan negara, karena sumpah atau “oath of allegiance” di depan pejabat pemerintah Amerika Serikat itu, dengan sendirinya telah meniadakan seluruh hak Arcandra sebagai warga negara Indonesia, karena Ia telah mengharamkan kesetiaannya kepada negara manapun selain kepada Amerika Serikat.
Presiden harus bertanggung jawab dan menjawab dengan jelas dan tegas. Atau bila memang perlu, Jokowi mencopot Alcandra Tahar dari jabatannya saat ini.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.