Hujan pada Jumat malam (11/11) di pelataran rumah pelukis Djoko Pekik, Sembungan, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, tak menghalangi puluhan orang mengikuti pembukaan pameran sketsa-sketsa Goenawan Mohamad. Mengapa wartawan senior, kolomnis, dan sastrawan ini terjun ke bidang sketsa dan berpameran pula?
Kurator pameran (11-25 November), Sitok Srengenge mengatakan, “Saya mengetahui GM menggambar itu sudah lama. Sejak saya bekerja sebagai kurator di Komunitas Utan Kayu dan berlanjut di Komunitas Salihara. Dalam kerja menulis GM kerap mendiskusikan gagasan yang hendak atau sedang ditulisnya, tapi dalam menjalani kegemarannya menggambar GM bekerja diam-diam.”
Menurut Sitok, pada beberapa kesempatan GM membocorkan hasil “gemar menggambar”-nya. Sejumlah sketsanya pernah dicetak dalam format kartu pos, beberapa yang lain menjadi ilustrasi buku antologi puisi Don Quixote, dan dipamerkan di Kuala Lumpur. Karena itu, tambah penyair yang kini gemar melukis ini, “Saya merasa mendapat kejutan ketika suatu hari GM bertandang ke rumah saya, menyatakan (dengan ragu) niatnya untuk berpameran sketsa, dan meminta saya menjadi kuratornya.”
Manakala memeriksa dan menyeleksi lebih dari 100 sketsa yang tergelar di Studio Tari Salihara, Jakarta, Sitok benar-benar berhadapan dengan karya-karya yang tak hanya siap, tapi juga menawarkan otentisitas – terutama dari segi riwayat dan proses penciptaannya. Sketsa GM berbeda dengan umumnya sketsa yang dibikin para perupa, tambah Sitok.
Tentang tajuk pameran ini, Petikan, sungguh relevan dan bisa menjadi kata kunci yang jitu untuk memahami sketsa-sketsa itu. Sitok menjelaskan, segala yang “terpetik” itu bukanlah entitas yang otonom dan ahistoris, ia bahagian kecil dari (dan karenanya mewakili) sumbernya yang lebih besar. Petikan (setara dengan “kutipan” dalam ungkapan verbal) ibarat pemantik guna merangsang orang untuk lebih mengetahui konteksnya dalam wacana yang lebih luas.
Oei Hong Djien, kolektor lukisan paling berpengaruh di Indonesia, memberi sambutan pada pembukaan pameran sketsa itu. Menurut OHD, yang biasa dipanggil ‘dokter’ oleh kalangan seniman, dirinya bisa masuk rekor MURI karena sudah banyak sekali diminta membuka pameran seni rupa, dari lukisan, sktesa sampai patung. OHD menilai, Yogyakarta adalah tempat yang paling cocok untuk pameran seni rupa. Setiap ada pembukaan pameran di Jogja, selalu ramai didatangi seniman, wartawan, mahasiswa, kurato, juga kolektor. Namun OHD memaklumi, di Jogja acara selalu “ngaret”. “Saya datang dari Magelang dan paling awal tiba di Plataran Djoko Pekik ini,” ujarnya disambut tawa.
GM mengatakan akhir-akhir ini ada fenomena pindah jalur di kalangan seniman. “Saya mengamati ada beberapa seniman yang akan bertambah profesi. Butet akan pameran grafis di atas keramik, Djadug kini rajin fotografi juga akan pameran, Sitok kini makin rajin melukis. Saya khawatir, pelukis atau perupa asli akan tersaingi dengan para perupa dadakan tadi,” kata GM disambut tawa.
Pada pembukaan pameran sketsa-sktesa GM, penulis Catatan Pinggir, kolom tetap di majalah Tempo ini memberi kenang-kenangan kepada dua orang, yaitu Djoko Pekik dan OHD. Djoko Pekik menurut GM, wajah paling sulit digambar kecuali dengan rasa kagum atau rasa benci, meskipun benci umumnya hanya melahirkan karikatur. Dalam proses gambar GM, wajah selalu luput. “Saya tak bisa mendifinisikan seseorang. Gambar wajah hanya respons saya kepada sebuah sosok, usaha sia-sia untuk akurat,” aku GM.
Pada malam pembukaan sketsa-sketsa GM, tampak hadir antara lain, Butet Kertarahardja, Djadug Ferianto, M Sobary, Sindhunata, Tony Prabowo, Hairus Salim, dan Sha Inne Febriyanti.
Malam itu suasana tambah gayeng dengan penampilan sinden (dan pengiringnya) yang merdu sekaligus lucu, Yu Nyahni.