Minggu, 24 September 23

Patung Benny Moerdani dan Misteri Seorang Jenderal

Sepertinya tidak ada figur sekuat almarhum Jenderal (Purn) Benny Moerdani dalam politik Indonesia kontemporer. Hingga di era Presiden Jokowi sekarang, nama Benny  masih dihubung-hubungkan dengan sejumlah purnawirawan yang memiliki akses kuat pada Presiden Jokowi, seperti Hendro Priyono (Akmil 1967) dan Luhut B Panjaitan (Akmil 1970).

Fenomena ini menunjukkan satu hal, bahwa bayang bayang Benny Moerdani masih mewarnai peta politik elite Jakarta, walaupun figur dimaksud telah berpulang lebih sepuluh tahun lalu, tepatnya pada 29 Agustus 2004. Jenderal  Benny Moerdani adalah tipikal perwira intelijen sejati. Karena itulah agak sulit menggambarkan figur Benny secara singkat. Dalam perjalanan waktu, kita kemudian bisa mengetahui, bahwa Benny memang dikenal sebagai figur yang cenderung tertutup, bahkan acapkali dianggap misterius.

Operasi Naga

Saya pribadi merasa beruntung, pernah melakukan tugas lapangan ke Merauke, Papua. Pada kota yang terletak di ujung negeri ini terdapat Patung Benny dalam posisi usai melakukan penerjunan, dengan payung parasut belum terlipat. Monumen tersebut berdiri sejak 1989, sebagai peringatan atas operasi penerjunan  di belantara Merauke (Operasi Naga, 1962), di bawah pimpinan (pangkat saat itu) Kapten Inf Benny Moerdani. Operasi ini bersifat senyap, bagian dari kampanye merebut wilayah Papua Barat, yang masih dikuasai pemerintah kolonial Belanda.

Begitu bersejarahnya operasi tersebut, di Merauke terdapat seruas jalan yang bernama Para Komando. Itu karena pasukan yang dipimpin oleh Kapten Benny berasal dari kesatuan RPKAD (kini Kopassus). Saya kira, baru di Merauke inilah ada jalan dengan mengabadikan nama Korps Baret Merah. Di kota-kota lain di Jawa umumnya mengambil nama kesatuan tentara pelajar, seperti TGP (Tentara Genie Pelajar)  atau TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) di Jatim, Jalan TP (Tentara Pelajar) di Jateng, dan Jalan Pasukan Pelajar IMAM (Indonesia Merdeka atau Mati) di kawasan Banyumas.

Monumen Benny mendapat tempat khusus bagi warga Merauke, karena kebetulan Benny menganut agama Katolik, agama yang juga dianut sebagian besar. warga Merauke. Dalam hal keberagaman, terjadi titik temu antara Korps Baret Merah,  dengan Merauke, atau Papua pada umumnya. Kita bisa menjadi paham sekarang, mengapa Kopassus seolah memiliki hubungan yang unik dengan tanah Papua, dengan segala romantikanya dan pasang surutnya.

Monumen Benny bisa berdiri dengan tenang di Merauke, kota yang sangat inklusif dan manusiawi. Kita tidak tahu bagaimana nasib monumen itu bila berada di kota lain, termasuk di tengah Kota Jakarta, misalnya. Mungkin karena warganya terlalu sibuk, sehingga kurang peduli seandainya Patung Benny berdiri di Jakarta

Jejak Benny

Berkat memimpin Operasi Naga nama Benny Murdani menjadi terkenal pada awal tahun 1960-an. Sebenarnya ada satu perwira lagi yang juga terkenal di masa Operasi Trikora, yaitu Mayor Untung.  Bila Benny memimpin operasi dengan sandi “Operasi Naga” (Juni 1962), sementara Untung memimpin “Operasi Gagak” (Agustus 1962). Saat upacara penyematan Bintang Sakti untuk Benny dan kawan-kawan di Istana Merdeka, Mayor Untung bertindak sebagai Komandan Upacara. Namun siapa yang dapat meramalkan nasib manusia? Sejarah kemudian mencatat, karir Benny dan Untung ibarat bumi dan langit. Karir Untung selaku Danyon Cakra, berujung tragis, sehubungan dengan peristiwa G30S.

Jenderal_TNI_LB_Moerdani

Pasca Operasi Naga, Benny semakin dekat dengan lingkaran Jenderal Soeharto (Pangkostrad saat itu), terutama dengan Ali Moertopo, tokoh senior intelijen, yang sangat dipercaya Soeharto. Selanjutnya kita sudah tahu bagaimana kiprah Benny di bidang intelijen, yang mencapai puncaknya saat diangkat sebagai Panglima ABRI (TNI) periode 1983-1988. Kemudian berlanjut sebagai Menhankam (1988-1993).

Di saat sebagai Menhankam ini, hubungannya dengan Soeharto mulai renggang. Namun demikian pengaruh Benny masih kuat. Dan sebagaimana kita tahu, sejak “melepas” Benny, kekuatan Soeharto tak lagi solid. Dan itu terus berlanjut sampai Soeharto lengser pada Mei 1998.

Melihat fenomena demikian kuatnya pengaruh figur Benny, itu menandakan bahwa peran intelijen masih  kuat dalam politik Indonesia, termasuk bagi pemerintahan sekarang. Supremasi sipil di era Jokowi memang benar-benar diuji, mengingat Jokowi adalah sipil murni, beda dengan figur Presiden SBY, yang mantan jenderal. Dengan kata lain SBY memiliki jaringan di TNI, dan sudah memahami “logika” intelijen TNI, khususnya TNI AD. Tentu publik berharap, bidang intelijen berperan secara profesional, yang tidak terlibat dalam politik praktis seperti di masa lalu.

 

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai Pengamat Militer (Khususnya TNI AD).  Saat ini sebagai editor buku paruh waktu

- Advertisement -
Berita Terbaru
Berita Terkait