Sebanyak 35 kartunis yang tergabung dalam Paguyuban Kartunis Yogyakarya (PAKYO) mulai 13 Maret sampai 2 April 2018 menggelar pameran kartun di Galeria Mall, Jalan Jenderal Sudirman, Yogyakarta. Pameran Kartun bertajuk ‘Stand Up Cartoon’ tersebut, digelar Pakyo kerjasama dengan Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Menurut Umar Priyono, Kerpala Dinas Kebudayaan DIY, dari 94 proposal yang masuk di Dinas Kebudayaan DIY, telah terpilih 20 kelompok seni rupa yang meliputi berbagai cabang seni rupa yang tersebar di kabupaten / kota se DIY. Pakyo merupakan salah satu kelompok seni rupa terpilih yang kembali memberi warna baru di bidang seni rupa Yogyakarta.
Pakyo dibentuk pada 1979, merupakan paguyuban kartun tertua di Indonesia. Menurut Ketua Pakyo Agoes Jumianto, tujuan pameran di pusat perbelanjaan, pertama mendekatkan karya kartun kepada lebih banyak lagi masyarakat. Kedua, memicu kartunis agar berkarya tak hanya di media cetak tetapi juga media baru lainnya.
Tahun lalu Pakyo juga menggelar pameran bertajuk ‘Kartunistimewa’ di Bentara Budaya, Jalan Suroto, Yogyakarta. Pameran tahun 2017 lalu itu, digelar kali pertama dengan tujuan ‘ngumpulke balungpisah’ dan sukses. Dari situlah kemudian, para kartunis Yogyakarta kembali menggelar kembali pameran kartun. Tapi pameran kali ini, sengaja digelar di pusat perbelanjaan.
Pameran dengan tagline ‘Stand Up Cartoon – Jogja Cartoon Exhibition 2018’ ini, sengaja tidak digelar di ruang pameran atau galeri. Pusat perbelanjaan dipilih sebagai ruang unjuk karya, dengan harapan bisa semakin mendekatkan seni kartun kepada lebih banyak lagi masyarakat. Jika selama ini kartun lebih banyak berinteraksi dengan media cetak, tapi kali ini kartun sengaja datang dan menyapa masyarakat. Sebab, jelas Agoes, di tengah pasang surut penerbitan media cetak bersaing dengan dunia media sosial digital, kartun seperti mulai terpinggirkan.
Sudah banyak media cetak mulai tak tertarik lagi dengan gambar-gambar kartun yang menggelitik. Akibatnya, banyak kartunis yang banting setir dalam mencari kehidupan. Keberagaman karya yang dipamerkan baik dalam bentuk dua dimensi maupun karya instalasi, menuntut para kartunis untuk terus berinovasi melahirkan kebaruan-kebaruan kekinian. Hal ini sekaligus mengubah maindset kartunis, bahwa kartun tak lagi identik dengan media cetak. Pakyo memiliki tanggung jawab moral untuk ikut mencerdaskan bangsa melalui bahasa kartun.
Melalui pameran kartun kali ini yang diikuti 35 kartunis anggota Pakyo dan satu kartunis tamu dengan ratusan penghargaan internasional, Jitet Koestana, diharapkan mampu memberi hiburan segar bagi masyarakat luas sekaligus menjadikannya destinasi lucu wisatawa yang sedang berkunjung di Yogyakarta. Sementara Kuss Indarto, kartunis sekaligus kurator seni rupa, mengatakan kasus Onan Hiroshi mengingatkan kembali kepada publik bahwa karya kartun masih menjadi salah satu karya seni rupa atau karya jurnalistik yang masih efektif untuk mencuatkan kasus tertentu. Onan mampu memanfaatkan kekuatan kartun untuk mengutarakan opini persoalannya secara satiris, tajam hingga diasumsikan sebagai menghina pihak lain.
Menyoal tentang cara ungkap (karya kartun) yang kemudian bisa menimbulkan persepsi yang berbeda-beda bagi tiap apresiannya, memang rumit karena hal ini tak lepas dari problem yang jauh lebih luas dari sekadar selembar kartun. Ada problem kultural, sosiologis, historis, dan sebagainya yang pasti beda pada tiap personal atau kelompok masyarakat, sehingga respon yang timbul pun juga bervariasi. Meskipun secara kultural nyaris berbeda antara Jepang dan Indonesia, sebagai contoh, namun pada satu hal tertentu akan bertemu pada satu titik yang menjadi dalih untuk tidak bisa menerima kritik satirik yang vulgar atau sarkastik dalam sebuah karya kartun, yakni atau mengekspresikan sesuatu dengan mengedepankan cara ungkapnya yang eufemistik atau dengan cara yang halus, bukan sarkastik.
Kuss Indarto juga menjelaskan, pameran dengan menempati venue di mal memberi nilai berbeda. Mal adalah ruang publik temuan abad 20 yang telah dicap sebagai “katedral” konsumtivisme dan hedonisme.Raung-ruang seni mainstream seperti galeri, museum dan semacamnya bisa sekali-kali ditinggalkan. Melalui upaya popularisasi karya seni, di venue seperti inilah seniman kartun berpotensi besar memberi tawaran berbagai nilai yang bisa disodorkan lewat sekian banyak karya kartun. Di balik gurauan, karya kartun juga menyelipkan banyak pesan etika dan moral yang bisa memberi warna dalam peri kehidupan. Dalam konteks ini, karya kartun sudah jauh melepaskan diri dari kerangkeng “l’art por l’art atau seni (hanya) untuk seni”. Seni bisa diberdayaakan untuk m,emberi pencerahan bagi masyarakat, sekecil apa pun kontribusinya.
Kuss Indarto berpesan kepada kartunis Pakyo, teruslah lucu, menghibur, dan memberi nilai untuk masyarakat di sekitar. Ngelmu iku kelakone kathi laku. (Me)lucu itu juga laku.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.