Selasa, 3 Oktober 23

Pakar: Tak Perlu Ada Perdebatan soal Gelar Perkara Kasus Ahok

Pakar hukum dari UIN Syarif Hidayatullah, Ismail Hasani mengatakan rencana Polri untuk melakukan gelar perkara kasus dugaan penodaan agama yang melibatkan Basuki Tjahaya Purnama (BTP) tidak perlu diperdebatkan. Apalagi bila perdebatannya menyangkut dasar hukum gelar perkara kasus yang masih berada dalam tahap penyelidikan.

“Gelar perkara adalah teknis kerja Kepolisian yg biasa dikenal dalam proses penyidikan. Jadi pada tahap penyelidikan tidak ada dasar hukum penyelenggaraan gelar perkara, meskipun praktiknya Kepolisian sering melakukan gelar perkara,” kata Ismail dalam siaran pers di Jakarta, Rabu (9/11) .

Seperti diketahui, posisi kasus tersebut saat ini berada pada fase penyelidikan. Sesuai Pasal 1 angka 5 KUHAP, Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam UU ini.

“Dengan demikian, ada atau tidak adanya dasar hukum gelar perkara pada tahap penyelidikan tidak perlu menjadi perdebatan, karena pada dasarnya gelar perkara hanyalah teknik kerja penyidik dalam menentukan ada atau tidaknya dugaan tindak pidana,” kata Ismail.

Pernyataan banyak pihak yang mengatakan, gelar perkara terbuka tidak dikenal dalam proses penyelidikan ditujukan untuk melindungi hak asasi warga dari judgement bahwa seseorang dinyatakan bersalah padahal belum adanya alat bukti yang cukup dan/atau tidak terpenuhinya unsur pidana.

Menurut Ismail, salah satu asas presumption of innocence (praduga tidak bersalah) merupakan salah satu asas yang harus dipedomani untuk memenuhi standar due process of law.

Lalu apakah, gelar perkara pada tahap penyelidikan akan melanggar hak BTP sebagai Terlapor dalam kasus penodaan agama?

“Dalam situasi dimana BTP telah ‘dihakimi’ secara terbuka melalui aksi-aksi massa, maka tidak ada pilihan lain kecuali dengan gelar perkara terbuka sehingga independensi penyidik bisa dikontrol,” tegas Ismail yang juga menjabat Direktur Riset Setara Institute.

Ismail mengingatkan, dasar gelar perkara terbuka dan dilakukan pada tahap penyelidikan secara implisit dimungkinkan menurut Pasal 71 Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

Satu hal yang harus dipastikan, kata Ismail, adalah bahwa gelar perkara hanya melibatkan unsur-unsur yang relevan yakni pelapor, terlapor, penyidik, dan bagian pengawasan penyidik (Wasidik) Polri.

Oleh karena itu, Ia menilai rencana pelibatan anggota Komisi III DPR yang juga akan dilibatkan dalam gelar perkara adalah kekeliruan. Karena,

“Komisi III bukan penyidik dan bukan penegak hukum. Rencana pembentukan Tim Pengawas Kasus juga merupakan langkah off side, karena fungsi pengawasan DPR adalah mengawasi pemerintahan dalam menjalankan perintah UU, bukan mengawasi kasus-kasus secara spesifik,” ujarnya.

“Keterlibatan Komisi III DPR hanya akan mengundang potensi politisasi lebih jauh dan mengikis independensi penyidik,” tambah Ismail.

Gelar perkara terbuka, pungkas Ismail, adalah kreasi teknik kerja institusi Polri untuk menepis keraguan publik atas independensi Polri dalam kasus ini dan tidak melanggar hukum.

Sepeti diketahui, Bareskrim Polri akan melakukan gelar perkara terbuka kasus dugaan penghinaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta non aktif Basuki Tjahaja Purnama pekan depan. Rencananya, gelar perkara dilakukan pada hari Selasa atau Rabu.

“Direncanakan minggu depan gelar perkara, Selasa atau Rabu,” kata Kabag Penum Polri Kombes Martinus Sitompul di Nusa Dua Bali, Selasa (8/11/2016).

Martinus menjelaskan, gelar perkara dilakukan secara terbuka untuk menjawab keingintahuan masyarakat tentang proses penegakan hukum. Karena itu perlu dibuat suatu mekanisme.

- Advertisement -
Berita Terbaru
Berita Terkait