Rabu, 22 Maret 23

Oposisi Indonesia

Harus diakui pelopor oposisi di masa Orde Baru adalah kalangan aktivis yang mendeklarasikan diri sebagai penentang seluruh kebijakkan orde baru. Peran ini berbeda dengan petisi 50 yang area kritiknya soal penerapan Pancasila dalam kehidupan bernegara. Oposisi indonesia secara langsung ingin segera dilakukan pergantian kepemimpinan nasional. Gerakkan perlawanan terhadap orde baru tidak bersifat intitusional, hanya taktis namun mempunyai isu bersama sebagai titik temu. Lahirnya partai rakyat demokratik (PRD) lalu Aliansi demokrasi rakyat (Aldera), menjadikan oposisi lebih mempunyai program politik strategis dimana salah satu agenda politiknya adalah demokratisasi.

Adanya agenda politik yang sama, tidak serta merta oposisi indonesia menjadi terinstitusionalisasi. Hal ini bisa di pahami dalam konteks budaya politik indonesia yang tidak mengenal istilah oposisi yang lazim digunakan dalam sistem perlementer. Kita mengenalnya sebagai kekuatan penyeimbang.

Menghadirkan demokrasi dalam kehidupan bernegara menjadi agenda strategis para aktivis, sebab sistim politik kala itu sangat sentralistik dan selalu memberangus kebebasan. Dan pada akhirnya kekuatan politik orde baru yang berkuasa selama 32 tahun, bangkrut dan jatuh oleh kekuatan oposisi.

Oposisi di Era Demokrasi

Oposisi di era demokrasi kemudian menjelma menjadi kekuatan penyeimbang, kritis namun sarat kepentingan politik. Apalagi yang dilakukan oleh partai politik. Sementara kekuatan oposisi non partai, yang kala itu populer disebut parlemen jalanan, kemudian malah menjadi kepanjangan tangan partai politik, baik dalam isu politik maupun agendanya. Sehingga sulit membedakan antara isu elitis dan isu di jalanan.

Lebih ironis kemudian di era lahirnya post-truth  peran oposisi di mainkan oleh individu-individu fungsional partai politik seperti Fadli Zon atau Fahri Hamzah. Keberadaan mereka jelas tidak bisa dilepaskan diri dari keberadaan partai politiknya, yang berada di luar kekuasaan. Selain itu, beberapa peran oposisi dimainkan oleh aktor-aktor politik, yang terilhami bukan sebagai bagian dari agenda dan strategik politik. Aktor ini muncul karena motive sakit hati, korban hoax, dan mereka yang menjalankan skenario politik identitas.

Efek dari itu, kualitas oposisi dilihat dari konten narasinya, menurun drastis. Wilayah perdebatan, area diskusi, serta narasi yang di bangun berdasarkan pada prasangka, anti demokrasi, merendahkan orang, dan fitnah. Rasa frustrasi memungkinkan terjadinya pembajakan terhadap demokrasi, dengan mendorong dan menunggangi people power dengan tindakan destruktif.  Ini bisa di lihat dari gerakkan anarkho – sindikalis yang kemarin muncul.

Oposisi sebagai gerakan tidak lagi bisa independen seperti di era orde baru, karena aktor – aktornya terafiliasi oleh kekuatan partai dan kekuatan dinasti politik lama. Kebencian sebagai produk utama dari politik identitas, menjadi masalah yang berakibat pada rendahnya kualitas oposisi. Maka isu – isu yang mereka usung seputar masalah PKI  (yang jelas tidak relevan karena ideologi ini sudah tidak laku lagi di seluruh dunia), penggunaan ayat agama, soal – soal ras sampai kehadiran TKA.

Kehadiran aktivis demokrasi seharusnya bisa memperkuat kualitas oposisi, dengan mengubah kekuatan narasi yang lebih menjalankan fungsi korektif – konstitusional, agar pemerintahan menjalankan amanah di 5 tahun kekuasaannya. Dengan narasi yang berkualitas maka secara tidak langsung ikut menjaga demokrasi itu sendiri.

Faisal Basri, sosok ekonom sekaligus aktivis adalah contoh figur yang mengambil peran konstruktif. Selain beliau, masih banyak juga yang mengambil peran mulia ini, namun gaung narasinya belum cukup kuat menjadi narasi utama yang bisa mengeser narasi politik identitas.

Narasi yang menghegomoni harus terus dilawan oleh narasi kontruktif – konstitusional agar narasi politik identitas tidak berkembang dan meluas. Jika politik identitas diterima menjadi kebenaran yang harus di perjuangkan, maka akan terjadi pergeseran nilai budaya. Dan tragisnya kesantunan politik bergeser menjadi gerakkan destruktif yang penuh caci maki serta kebencian.

Sekalipun budaya politik formil tidak mengenal istilah oposisi namun realitas kehadiran oposisi di luar struktur politik formil telah menjadi realitas dan mempunyai kekuatannya sendiri dalam kancah politik Indonesia. Peran oposisi akan terhormat jika diisi oleh aktor demokratis, dengan gagasan yang kritis dan kontruktif. Dan pemerintah akan sulit menolak ide kontruktif ini, yang  pada akhirnya penerima benefit dari semua itu adalah rakyat itu sendiri. Peran ini pernah di lakukan terkiat isu soal KPK.

Dengan mengkritisi kebijakan pemerintah tanpa tendensi, tanpa disertai dengan penghinaan, sejatinya menghormati akal sehat rakyat Indonesia, yang telah mengambil bagian dalam proses drmokrasi, dengan mengikuti pemilihan secara langsung. Karena itulah narasi yang teramat penting adalah menjaga kedaulatan rakyat itu sendiri. Disitulah marwah menjadi oposisi, seperti yang di lakukan oleh para aktivis saat era orde baru.

 

Taufan Huneman (Penulis)
Taufan Huneman (Penulis)

 

Penulis: Taufan Hounemman, aktivis 98 yang saat ini menjadi Sekjen Fornas Bhineka Tunggal Ika

- Advertisement -
Berita Terbaru
Berita Terkait