Selasa, 26 September 23

Ombudsman: Pembuatan e-KTP masih Bermasalah

Anggota Ombudsman RI (ORI), Ahmad Suaedy mengatakan bahwa program pembuatan dan pelayanan kartu tanda penduduk (KTP) elektronik atau e-KTP di sebagian daerah masih belum maksimal dan bermasalah. Berbagai persoalan yang muncul mengendala target pemerintah untuk segera menuntaskan program ini.

“Ada yang urus KTP sampai tahunan belum mendapatkan KTP elektronik dan harus mengantre tidak hanya sekali. Hingga kini, masih marak percaloan yang mengharuskan warga membayar Rp200 ribu sampai dengan Rp300 ribu. Pemerintah harus segera mencari terobosan untuk menyelesaikan pelayanan KTP elektronik yang 17,5 juta tersebut,” kata Ahmad Suaedy di Jakarta, Senin (10/10).

Selanjutnya, Suaedy menyebut kendala lain berupa keterbatasan blangko KTP elektronik karena pemerintah hanya menyediakan 4,5 juta blangko pada tahun 2016. Sementara, di awal Juli lalu Kemendagri mengumumkan bahwa masih ada 22 juta jiwa penduduk yang belum mendapatkan KTP elektronik.

Tak hanya itu, hasil temuan Ombudsman juga mencatat ada beberapa kecamatan di kabupaten luar Jawa yang hingga kini belum melakukan perekaman data dan pencetakan karena terkendala sarana dan prasarana seperti koneksi internet yang tidak lancar, listrik yang sering mati, dan kerusakan alat perekaman di kecamatan, serta alat pencetakan di Dinas Pendudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil).

Data monitoring Ombudsman di seluruh provinsi Indonesia, tercatat di 81,4 persen daerah terjadi pemadaman listrik, 51 persen koneksi internet yang bermasalah, dan 23,35 persen kondisi mesin pencetak yang rusak.

Anggota Ombudsman lainnya, Ninik Rahayu, mengungkapkan petunjuk pelaksana (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) yang tidak perinci dan jelas makin memperbanyak kesalahan administrasi dalam pelayanan KTP elektronik.

“Contohnya Pemerintah Kota Surabaya sudah membuat tata cara, sayangnya tidak dipahami dengan baik oleh masyarakat karena sosialisasinya tidak sampai. Masih ditemukan adanya surat pengantar dari RT/RW, padahal syarat tersebut tidak dicantumkan lagi di KTP elektronik,” ujar Ninik.

Selain itu, ada kecamatan yang ditemukan menerapkan kuota pemohon pendaftaran perekaman dalam sehari 50 orang, tetapi ada juga yang menerapkan antrean berdasarkan kuota pengambulan nomor dengan batas waktu hingga pukul 12.00 WIB.

ORI berharap kaum difabel dan lansia dilayani dengan perlakuan yang berbeda, seperti layanan “jemput bola” yang tidak hanya diterapkan di tempat keramaian.

Hingga saat ini, Ombudsman RI (ORI) menyatakan sedikitnya 17,5 juta jiwa penduduk Indonesia belum memiliki kartu tanda penduduk (KTP) elektronik karena mereka belum terlayani, baik layanan perekaman maupun pencetakan.

Dari hasil monitoring dan kajian pelayanan publik KTP elektronik di 34 provinsi, ORI menemukan pelambatan minat masyarakat pada 2 tahun terakhir dalam mengurus KTP elektronik, hal tersebut dikarenakan kelambanan, kerumitan, bahkan percaloan dalam pelayanan yang terjadi di lapangan.

- Advertisement -
Berita Terbaru
Berita Terkait