Kamis, 7 Desember 23

Nasionalisme Generasi Milenial dan Aspek Pendidikan

Dalam setiap era, kaum muda selalu memberi peran signifikan. Generasi dengan penanda waktu atau tahun, seperti 1928, 1945, 1966, dan seterusnya, identik dengan mereka yang berusia muda, kisaran usia 20 – 30 tahun. Dalam istilah kiwari, usia setara itu populer dengan sebutan generasi milenial.

Dalam usia relatif muda, generasi milenial telah menunjukkan prestasinya, semisal diundang ke Istana, dengan menjadi staf khusus presiden. Dalam era Orde Baru, yang terlalu condong pada figur militer, perwira dalam usia 30-an memang belum siap untuk tampil, karena masih berpangkat kapten, atau (paling tinggi) mayor. Kini dengan berbasis pendidikan mumpuni dan bakat cemerlang, generasi milenial bisa lebih cepat tampil, dan langsung memperoleh pengakuan publik.

Bagi anak muda yang berasal dari keluarga biasa-biasa saja, artinya bukan dari golongan elite, bila ingin tampil sebagai tokoh publik, harus kokoh dalam aspek pendidikan. Generasi milenial, khususnya dari masyarakat bawah, harus sekolah yang setinggi-tingginya, agar memperoleh akses menuju kekuasaan, di tengah kecenderungan dinasti politik hari ini. Sudah menjadi hukum besi sejarah, bahwa publik lebih percaya pada omongan orang yang berpendidikan tinggi.

Untuk menjadi pejabat publik, faktor pendidikan adalah mutlak, ketika begitu banyak sarjana dari generasi milenial. Kita bisa belajar dari keluarga penguasa masa lalu, (khususnya) Soeharto, yang sekolah anak-anaknya tidak terlalu berhasil. Dari keluarga pemimpin negeri masa lalu, yang sekolah anak-anaknya terbilang membanggakan adalah Bung Hatta dan BJ Habibie. Artinya anak-anak mereka terbilang siap bila suatu saat dipanggil negara, untuk menjadi pejabat publik.

Selain aspek pendidikan, nasionalisme (versi) generasi milenial telah terbukti menjadi pilar gerakan civil society hari ini. Salah satu yang fenomenal, adaah generasi milenial yang tergabung dalam Aksi Kamisan, mereka yang rutin mengadakan aksi damai di depan Istana Merdeka setiap hari Kamis (sore). Tentu ada banyak komunitas dan kantong generasi milenial lain. Seperti gerakan masif tahun lalu, yang memberi dukungan pada KPK, yang sedang dicoba dilemahkan secara terstruktur melalui revisi UU KPK (2019). Kemudian aksi menentang tindakan ormas vigilante yang secara kasatmata merendahkan saudara-saudara kita asal Papua.

Kiprah generasi baru telah menjadi ikonik di tengah gelombang gerakan civil society. Mereka adalah generasi aktivis yang berani menyatakan hati nuraninya, walaupun bertentangan dengan penguasa. Sebuah generasi yang tidak mencari kekayaan melulu, namun keadilan dan kebenaran. Apa boleh buat, bila saya harus mengatakan bahwa generasi ini sebagai pelanjut cita-cita humanisme universal, yang dulu coba disemaikan Sutan Sjahrir dan Soe Hok Gie.

Dari observasi lapangan, salah satu temuan menarik adalah, mereka bukannya tidak tertarik pada politik dan kekuasaan, namun mereka memiliki peta jalan sendiri untuk mengekspresikan aspirasi mereka. Keterlibatan dalam aksi Kamisan, merupakan salah satu bentuk ekspresi mereka membela korban pelanggaran HAM. Ketika elite di Istana tidak pernah merespons aksi Kamisan, padahal aksi itu hanya sepelemparan batu jaraknya dari Istana, bisa kita tebak bagaimana pandangan generasi milenial terhadap kekuasaan.

Wajar bila mereka kemudian bersikap dingin terhadap kekuasaan. Mereka sudah bisa membaca, bahwa aksi Kamisan akan selalu menjadi medium dalam kampanye capres, dari kubu mana pun. Namun ikhtiar tersebut percuma saja, politisasi aksi Kamisan adalah kesia-siaan.

Saya pernah mendengar langsung, suara generasi milenial adalah simbol kedaulatan, idealnya generasi milenial bisa menggunakan suaranya secara kritis, tidak sekadar mengikuti kemana angin bertiup. Meskipun angin itu digerakkan para senior atau (terlebih) para penguasa.

Generasi milenial telah banyak belajar dari generasi terdahulu. Salah satunya adalah soal perilaku politik, yang kemudian banyak ditiru generasi berikutnya, sebut saja itu sebagai komodifikasi jasa. Maksudnya, bahwa jasa mereka di masa perjuangan dulu, harus bisa dikonversi dengan kekuasaan, yang berujung pada kesejahteraan.

Model ini yang kemudian ditiru generasi-generasi berikutnya, mulai Angkatan 66 sampai 1990-an, bahwa andil dalam menumbangkan sebuah rezim di masa lalu harus ada kompensasinya. Dengan cara seperti ini, publik tidak wajib lagi memberikan apresiasi, karena jerih payah mereka di masa lalu, sudah terbayar lunas, bahkan mungkin berlebih.

Kita jangan terlalu percaya pula dengan ucapan bombastis Generasi 1945, yang selalu membanggakan bahwa perjuangan bersenjata adalah elemen terpenting dalam mempertahankan kemerdekaan. Bagaimana mungkin, persenjataan pasukan kita saat itu tidak sebanding dengan militer Belanda.

Adalah faktor pendidikan sebagai penentu, yang paling berperan menuju alam kemerdekaan. Tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, Sutan Sjahrir, dan seterusnya, adalah generasi terdidik di awal Abad 20. Dari merekalah aspirasi kemerdekaan mulai ditebarkan, artinya faktor literasi lebih menentukan, sementara “bambu runcing” adalah metafora.

- Advertisement -
Berita Terbaru
Berita Terkait