Ini tulisan serius. Jangan berharap anda akan tertawa selama atau setelah membaca tulisan ini. Memang judulnya ada kata Mukidi yang selama beberapa hari terakhir memviral di media sosial. Tulisan ini tentang kawan saya, ya Mukidi, seorang petani kopi, pengusaha muda, juga seorang pejuang lingkungan asal Temanggung, Jawa Tengah.
Meskipun satu daerah (kabupaten), namun saya baru mengenal sosok ini setelah 1998. Saya tak tahu persis kapan, tetapi bertemu di kantor Andy Yoes Nugroho, di Utan Kayu, Jakarta Timur. Andy Yoes Nugroho adalah seorang kreatif bidang media, juga asal Temanggung. Ya, kami diaspora Temanggung di Jakarta sering bertemu. Puncaknya ketika ada kegiatan melengserkan Bupati Temanggung yang korupsi, Totok Ary Wibowo. Rangkaian aksi itu diberi judul: Totok Harus Titik!
Pertama ketemu Mukidi lebih banyak bicara tentang lingkungan. Bagaimana ia berupaya menanggulangi lahan kritis di lereng Gunung Sumbing. Saat itu belum banyak bicara tentang kopi, tanaman yang kini digelutinya dan membuat namanya cukup dikenal. Juga belum berbicara tentang Rumah Kopi dan produk kopinya.
Mukidi, adalah nama kecil dan tertera di akta kelahirannya, lahir di Desa Wonotirto Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung pada 5 Agustus 1974. Wonotirto adalah gabungan “wono” artinya hutan dan “tirto” artinya air. Hutan yang banyak airnya. Namun, kata Mukidi, ternyata desanya tak seperti namanya. Inilah yang membuat dia berusaha mengubah lahan kritis di desanya menghutan kembali.
Setidaknya saya tiga kali berkunjung ke rumah Mukidi, Rumah Kopi Mukidi, di Jambon, lereng Gunung Sumbing. Termasuk bersama Tosca Santoso, seorang jurnalis cum novelis, yang ternyata sedang persiapan membuat novel keduanya berjudul Ladu. Novel ini mengenai pecinta alam dan kopi. Sebulan kemudian Tosca mengundang Mukidi berkunjung ke Sarongge berbagi pengalaman dengan petani kopi di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, tersebut. Sekira sebulan kemudian gantian petani Sarongge yang tandang ke tempat Mukidi, “studi banding” cara bertani kopi. Mukidi juga pernah menginap di rumah saya, Sleman, Jogja. Saat itu usai Mukidi tampil menjadi juri untuk para barista pemula di Klinik Kopi, Jogja. Nama terakhir ini kian kinclong banyak dikunjungi wisatawan menyusul kafe ini dipakai pengambilan gambar film “Ada Apa Dengan Cinta 2”.
Tokoh Cerita Mukidi
Nama Jawa yang terkesan “ndeso” itu mendadak ramai diperbincangkan di media sosial dan grup aplikasi pesan singkat. Berbagai kisah Mukidi sukses mengocok perut dan menjadi viral. Sosok Mukidi pun diburu karena membuat penasaran banyak orang. Tapi, jangan berharap bisa bertemu dan menjabat tangan Mukidi. Sebab, dia hanyalah sosok fiksi yang diciptakan sebagai pengantar berbagai kisah komedi. Semua dimulai dari sebuah blog bernama Cerita Mukidi.
Tadi siang saya tanya Mukidi melalui inbox Facebook, bagaimana pendapatnya tentang nama Mukidi yang sedang heboh memviral di media sosial. Ia menjawab, “Baru saja dikontak SCTV dan Merdeka com. Santai dan ambil hikmahnya.” Saya tampaknya agak baper. Aneh, saya yang selama ini sangat tidak serius dalam urusan apapun kok soal Mukidi jadi serius he he he. Mungkin saya tak rela kok tokoh itu Mukidi, kawan saya. Karena itu. dalam sehari ini saya mengunggah tiga tulisan dan satu video tentang Mukidi. Dua tulisan saya di indeksberita.com, Maret lalu, tulisan baru hasil wawancara Liputan6.com dan sebuah video berita tentang Mukidi sebagai nominator Liputan 5 Award SCTV 2013. Seolah unggahan saya tentang Mukidi asli itu akan mampu menutup ribuan Mukidi fiksi yang menjadi pembicaraan kekinian.
Pada saat bersamaan di Facebook sedang ada promosi Simposium Humor Nasional dengan tema: Humor yang Adil dan Beradab. Kegiatan pada Kamis, 8 September 2016 ini akan berisi diskusi interaktif dalam beberapa panel. Setiap panel yang dipandu oleh seorang moderator menampilkan beberapa narasumber yang memaparkan gagasan (dengan tema yang telah ditentukan) sesuai disiplin ilmu/profesi masing-masing.
Diskusi akan disela oleh partisipan aktif yang mengkritisi paparan dari narasumber. Acara ini terbuka untuk umum, sebagaimana lazimnya debat humor yang menggelitik, seolah ngawur namun sesungguhnya mengerucut ke satu gagasan yang sembodo. Sifat acara: menggugah dan inspiratif.
Saya ikut menyebarkan promosi simposium humor tersebut dengan tulisan pembuka: Biar tak hanya heboh dengan Mukidi mari ikut Simposium Humor Nasional. Di sana Anda akan kenal tokoh lokal: Gareng/Petruk/Bagong (Jawa), Saridin (Madura), Si Kabayan (Sunda), Poltak (Batak), Polem (Aceh). Timur Tengah: Abunawas, Nasruddin Hoja, sampai tokoh Barat: Rabinovich (Yahudi) dan Ivanovich (Rusia).
Mukidi adalah nama yang dipakai sebagai tokoh cerita lucu. Sebelumnya humor atau joke itu bisa saja namanya orang lain. Saya mengamati banyak humor dengan nama Mukidi sebelumnya tak bernama atau memakai nama lain. Namun karena nama Mukidi cukup menjual sehingga penulis cerita humor lainnya mengikuti dengan memakai nama Mukidi. Karena itu jangan heran Mukidi kadang orang Cilacap, Madura atau Banyumas. Kadang Mukidi sebagai anak SD sampai orang dewasa.
Bagi penikmat humor, nama memang penting terutama untuk menekankan kekhasan cerita dari daerah atau bangsa mana. Karena itu di Indonesia kita mengenal tokoh seperti Saridin, Si Kabayan, Poltak, dan Polem. Di Timur Tengah ada Abunawas dan Nasruddin Hoja. Sementara di Barat ada Rabinovich, tokoh konyol Yahudi dan Ivanovich, orang bodor dari Rusia.
Fenomena Mukidi, mengingatkan saya pada buku cerita untuk dewasa pada tahun 1980an karangan Enny Arrow. Begitu banyak novel tipis yang ceritanya dan judulnya tak jauh dari ranjang itu. Siapakah Enny Arrow? Tak ada yang tahu dan tak ada yang mengaku. Siapa pun bisa mengaku sebagai penulis Anny Arrow. Karena itu jangan heran dalam cerita Enny Arrow antara satu judul dengan judul lainnya, gaya penulisannya berbeda. Maklum yang menulis memang banyak orang. Yang sama hanya kata-kata ini: oh my God, bles dan crot-crot.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.