Modernitas selalu menjadi tema yang menarik untuk diskusikan. apalagi di kaitkan dengan filsafat. Modernitas bisa dibahas mulai dari pembicaraan soal modernitas itu sendiri, anti atas modernitas dengan mengklaim kematiannya seperti yang diungkapkan Nietzche , Foucault sampai Derrida.
Kapankah era modernitas itu lahir ? Banyak yang beranggapan bahwa modernitas lahir dari perkembangan jaman dari kemunculan reformasi kristen yang memisahkan paganisme, revolusi perancis dan revolusi industri pertama era mesin uap James Watt. Namun modernitas juga di tandai lahirnya filsafat rasional, rene descartes dengan idiom yg terkenal cogito ergo sum (aku berpikir , aku ada). Selain descartes juga di tandai lahirnya filsafat subjektifitasnya, Friederich Hegel. Dua aliran filsafat ini menjadi bangunan kokoh lahirnya modernitas.
Revolusi industri 1.0 sampai revolusi industri 4.0 merupakan kemampuan manusia menaklukkan serta berkembangnya manusia menaklukkan alam semesta (Yuval Noah Harari). Ironisnya justru tantangan dan perlawanan massif penolakkan modernitas justru datang dari kelompok konservatisme dalam hal ini konservatisme agama, yakni kelompok yang menjadikan doktrin sebagai ruang tafsir ketat tanpa melibatkan akal maupun kesadaran diri.
Konservatisme agama memainkan peran menghambat suplai kemajuan manusia. Konservatisme agama itu sendiri berbeda dengan asketisme maupun spritualisme .
Masyarakat modern, demikian lazimnya kita menyebut era modern dengan beberapa indikator seperti, pengakuan atas hak milik, kebebasan , rasionalitas serta demokrasi dimana di dalamnya ada pengakuan hak azasi manusia. Semua indikator ini merupakan turunan dari variable rasionalitas dan subjektifitas.
Ruang demokrasi dimanfaatkan betul sebagai promosi atas gagasan konservatisme agama. Kedepan akan semakin rumit mengelola negara dalam konteks manajerial dan policy, jika kelompok konservatisme agama semakin menguat serta mendapatkan peran di masyarakat.
Kehadiran Trump dan kebijakannya cukup bisa memberikan referensi bagaimana konservatisme agama dan politik, memandu irama politik yg penuh dengan prasangka. Dan ini membawa kemunduran dalam konteks globalisasi. Dan ketegangan antara modernitas dan konservatisme agama, akan mewarnai dunia global saat ini sampai kedepan.
Indonesia tidak terluput dari upaya ketegangan – ketegangan ini. Karena itu perlu di bangun satu gagasan yang bisa memoderasi ketegangan ini. Untuk itulah maka institusi keagamaan yang moderat seperti Nadhatul Ulama, Muhammadiyah juga PGI, KWI dan lainnya, mempunyai ruang sentral sebagai partner aktif kekuasaan dalam membentuk kepemimpinan, bukan saja dalam ruang keagamaan melainkan politik – pemerintahan.
Kita bisa juga kembali melihat Pancasila bukan saja sebagai satu ideologi filsafat politik, namun juga sebagai ideologi yang hidup di tengah- tengah masyarakat, serta membangun budaya masyarakat. Maka perlu untuk menempatkan kembali Pancasila di ruang belajar, bukan sebagai nilai doktrinal melainkan sebagai core values dari budi pekerti.
Modernitas juga demikian, ketika individualisme menguat dalam konteks liberalisme maka perlu keseimbangan baru yakni pancasila yg menganut teori musyawarah mencapai mufakat. Pada akhirnya, Pancasila yang mempunyai akar serta institusional values lah yang memberikan keseimbangan antara modernitas serta konservatisme agama.
Penulis: Taufan Hounemman, aktivis dan Sekertaris Jendral Fornas Bhineka Tunggal Ika