Pemilihan Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Pilkada DKI Jakarta) tahun 2017 semakin dekat ke ujung pendaftaran calon. Hiruk-pikuk bakal calon (balon) yang akan mengikuti kontestasi telah menimbulkan gaduh politik, polarisasi warga dan menguras begitu banyak energi anak bangsa.
Kagaduhan politik Jakarta bukan hanya disebabkan Jakarta sebagai etalase politik nasional dan tempat seluruh kekuasaan dan modal, tapi lebih jauh dari itu. Kegaduhan politik Jakarta dikarenakan “magnet” figur Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) Gubernur DKI Jakarta saat ini yang menggantikan Presiden Jokowi sebagai Gubernur DKI sejak tahun 2014.
Ahok: Mesiah vs Fundamentalisme-Radikalisme
Ahok, petahana yang berniat untuk maju kembali memimpin Jakarta yang saat ini digadang-gadang oleh partai Golkar, Hanura dan Nasdem (24 kursi) serta didukung oleh Teman Ahok merupakan pribadi yang penuh kontroversi dengan sikap, ucapan, tindakan dan perilaku. Perilakunya membuat pro-kontra yang melahirkan “lovers”, pendukung setia yang mengkultuskan dirinya dan tentu “haters” yang akan melakukan berbagai upaya dan tindakan untuk menggagalkannya menjadi cagub DKI.
Tindakan ataupun ucapan Ahok yang tidak hanya keras tapi juga kasar – tanpa tedeng aling-aling-, dianggap sebagai sebuah titah bagi para pengagumnya sehingga harus benar dan tidak pernah salah. Di lain hal bagi masyarakat, ucapan dan perilakunya tersebut dianggap sebagai sebuah penghinaan, penyebar kebencian, tidak ber-keprimanusiaan dan tidak mempunyai etika. Akibatnya Ahok menuai badai perlawanan, baik dari partai politik, ormas, biokrat, pegiat lsm, kelompok agama, kelompok masyarakat, nelayan, miskin kota dan etnis yang merasa diperlakukan tidak pantas dan diskriminatif.
Ahok di mata para pengagumnya bukan hanya dianggap sebagai calon gubernur yang pantas melanjutkan kekuasaannya karena dianggap mampu dan berhasil dalam memimpin Jakarta tetapi dimata “Lovers nya ” juga didewakan sebagai seorang juru selamat “Mesiah”. Seorang “Mesiah” untuk menyelamatkan Jakarta dari kegelapan dan Ahok mengkomunikasikan symbol ini dengan cukup baik dalam pernyataan “Lu sampaikan sama Sandiaga, pasukan malaikat surgawi. Lebih dari 2 ribu pasukan malaikat surgawi yang menjaga”.
Di lain hal, Tolak Ahok bukan hanya melakukan penentangan secara rasional tetapi juga telah melahirkan fundamentalisme-radikalisme agama dan ras yang menggunakan symbol-symbol agama dan ras dengan berbagai-macam cara melalui pernyataan Ahok Kafir, Ahok Cina, Ahok Penghisap Darah dan lain-lain.
Polarisasi dukungan dan penolakan terhadap Ahok berbasis “SARA” merupakan “fertilizer” bagi gerakan fundamentalis-radikal berbasis agama dan ras yang akan meruntuhkan rumah Indonesia yang telah dibangun oleh Founding Fathers di atas kebhinekaan, agama, ras, etnik dan bahasa.
Pengusungan pasangan calon gubernur DKI Jakarta oleh partai-partai politik beberapa saat kedepan merupakan test case pertama yang sangat menentukan apakah Pilkada DKI Jakarta merupakan ladang bagi tumbuh dan mekarnya ladang fundamentalis-radikal atau tempat humanisme, solidaritas, marhenisme dan harapan wong cilik bersemi dalam perbedaan?
Mega Sang Penentu
Pendaftaran pasangan calon kepala daerah oleh partai politik ke KPU DKI Jakarta 21-23 September segera tiba. Namun sampai saat ini belum ada pasangan calon yang mendapatkan tiket pasti termasuk Ahok untuk mendaftar ke KPU. Begitu juga halnya partai politik belum ada yang sangat tegas mendukung pasangan calon menuju DKI 1, seakan-akan ada magnet kuat yang membuat semua terhenti dan menunggu sikap Megawati menentukan pilihannya : mengusung Ahok atau tidak.
Bagi Mega, Pilkada DKI Jakarta tentu bukan hanya persoalan menang-kalah, siapa yang tertinggi elektabilitasnya, berapa banyak logistik yang didapat untuk ransum pemilihan 2019, tapi lebih mega dari itu. Megawati sedang merawat Indonesia, merawat keberagaman yang telah dengan susah payah dibangun oleh ayahnya, Soekarno dengan mencari dan menemukan calon yang sesuai untuk mengusung dan mengemban Tri Sakti dan ajaran Marhaenisme di Jakarta. Megawati sedang berusaha membuang beban di pundaknya untuk mencegah arena kontestasi menjadi ajang tumbuh dan berkembangnya fundamentalis-radikal agama dan ras.
Sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan partai pemenang pemilu dengan 28 kursi di DPRD DKI, Mega saat ini telah berhasil menjadi “derigen” untuk mengharmonikan ketegangan antara kelompok Pro dan Tolak Ahok dengan menggantung pilihannya, sehingga memberi harapan untuk tumbuh dan bermunculan potensi calon baik dari internal partai maupun non partai yang bukan hanya berbicara Ahok dan Tolak Ahok, tapi didasarkan kepada cita-cita bersama bangsa dan keberpihakan kepada wong cilik.
Pilihan pasangan calon Jakarta 1 oleh Mega akan melahirkan beberapa skenario berapa jumlah pasangan calon yang akan ikut kontestasi. Skenario pertama, jika Mega memilih Ahok maka hampir dapat dipastikan hanya ada 2 (dua) pasangan calon yang akan bertarung di Pilkada DKI Jakarta yaitu Ahok dan Lawan Ahok (52 kursi Ahok versus 54 kursi Lawan Ahok). Pilihan ini merupakan pilihan buruk bagi keberlanjutan toleransi, keberagaman dan harmoni, juga merupakan ladang yang subur bagi tumbuh dan berkembangnya fundamentalis-radikal agama dan ras. Tidak ada program yang ditawarkan kepada rakyat, yang ada rumah-rumah ibadah baik mesjid, surau maupun gereja dan klenteng akan menjadi pusat penabur kebencian.
Skenario kedua, jika Ahok bukan pilihan Mega, tapi memilih pasangan calon dari internal PDI Perjuangan seperti Risma atau Rizal Ramli, jumlah pasangan calon yang ikut kontestasi berjumlah 3 (tiga) pasangan calon yaitu Ahok (24 kursi diusung oleh Hanura, Golkar dan Nasdem), Sandiaga Uno (26 kursi di usung oleh Gerindra dan PKS) dan calon PDIP dan koalisinya (46 Kursi, PPP, PKB dan PAN). Pilihan ini merupakan pilihan rasional dan mendorong kegairahan rakyat ikut dalam kegembiraan kontestasi. Mega bukan hanya telah memberikan pendidikan kepada rakyat tentang kepemimpinan tapi juga telah memutus mata rantaifree rider menggunakan Pilkada sebagai media kontes fundamentalis-radikal dan mengkanalisasi gairah rakyat dalam kontestasi.
Kontestasi bukan hanya tentang Ahok dan Tolak Ahok, tapi tentang kita, tentang Indonesia dan Jakarta yang mempunyai jiwa tempat wong cilik dapat hidup tenang dan berwajah humanis.
Skenario ketiga adalah skenario ekstrim yaitu Jakarta Tanpa Ahok. Skenario ini terjadi bila partai politik khususnya partai politik yang telah menyatakan mengusung Ahok mereposisi dan melakukan peninjauan ulang terhadap keputusannya setelah Mega menetapkan pasangan calon. Skenario ini dapat terjadi bila seluruh partai politik melihat dan memberi mandat kepada Ahok untuk mengawal dan menjaga birokrat dan dana APBD DKI Jakarta tidak dipergunakan untuk kepentingan pasangan calon dalam kontestasi seperti alasan gugatannya yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) tentang cuti kepala daerah dalam kampanye.
Pilkada DKI Jakarta merupakan maniatur demokrasi Indonesia yang memberi inspirasi dan contoh akankah demokrasi tumbuh dan bersemi di atas kebhinekaan dan harmoni dalam merawat rumah Indonesia atau jatuh dalam pelukan fundamentalis-radikal, hanya Mega dan Pimpinan Partai Politik yang mengetahuinya? Wallahu alam.
Nazaruddin Ibrahim
Pengamat Politik dan Otonomi Daerah, Ketua Bidang Otonomi Daerah dan Daerah Perbatasan Seknas Jokowi. Pendapat tersebut di atas merupakan pendapat pribadi dan bukan lembaga.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.