“Rendra Jelas Hitam dan Putihnya” (Setiawan Djody)
Pementasan Kebudayaan bertajuk ”Kesaksian Rendra” – 7 Tahun Mengenang Seniman Besar Indonesia – yang digagas Iwan Burnani dan Bambang Oeban, di Altar Teater Amphi, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (/9/8/16), adalah momentum bagi masyarakat Indonesia untuk menyaksikan kembali, apakah kesaksian WS Rendra terhadap Indonesia, yang tajam dan sangat kritis tersebut, masih relevan hingga saat ini?
”Jelas masih relevan, karena melalui sajaknya, Rendra berbicara tentang kesetaraan kedaulatan hidup bangsa Indonesia. Dan hari ini, rakyat masih membutuhkannya. Apalagi diantara karya dan kepribadiannnya, Rendra senantiasa membuat jelas antara hitam dan putih,” papar salah seorang pendiri Kantata Taqwa, seniman dan pengusaha Setiawan Djody, yang menyaksikan perhelatan akbar tersebut sembari duduk bersama ratusan penonton dari kalangan mahasiswa dan masyarakat umum.
Acara yang dihelat secara gratis ini, berlangsung mulai pukul 20.00 WIB, menampilkan sejumlah nama penting dijagat kebudayaan, serta para sahabat, kerabat dan seniman dari Bengkel Teater, diantara Butet Kertaredjasa, Sawung Jabo, Jockie Surjoprajogo, Sutardji Calzoem Bachri, Happy Salma, Ine Febriyanti, Jose Rizal Manua, Anto Baret serta puluhan seniman lainnya.
Sawung Jabo dan Jockie Surjoprajogo, memecah keheningan malam diudara terbuka yang sejuk setelah diguyur hujan beberapa saat sebelum pertunjukan dimulai, dengan tembang ‘Kesaksian’, sebagai penanda dibukanya acara yang berlangsung hingga pukul 24.00 WIB itu
”Banyak orang dirampas haknya, aku bernyanyi, menjadi saksi…” suara Jabo mengalun syahdu, teduh dan tenang penuh kewibawaan. Sesekali bagai menyalak kencang penuh kemarahan. Penonton tak kuasa untuk berdiam diri. Semuanya bernyanyi bak paduan suara yang terlatih rapih. Membuat sajak Rendra semakin bertenaga.
Selang-seling antara Sajak dan Lagu, serta musikalisasi sajak-sajak Rendra yang disajikan para seniman dengan sangat apik, nyaris sempurna. Mengingatkan kita bagaimana ekspresi dan retorika Rendra, dengan gaya pamflet pada sajak-sajaknya, kuat menyengat.
Bahkan saat Sha Ine Febrianti, tampil total selama kurang lebih 20 menit dalam sajak ‘Nyanyian Angsa’. Ine nampak larut dan luruh kedalam jiwa ‘Maria Zaitun’, subyek dalam sajak yang dikenal sebagai salah satu masterpiece W.S. Rendra.
Malaekat penjaga firdaus wajahnya jahat dan dengki
Dengan pedang yang menyala tak bisa apa-apa. Dengan kaku ia beku.
Tak berani lagi menuding padaku.
Aku tak takut lagi. Sepi dan duka telah sirna.
Sambil menari kumasuki taman firdaus dan kumakan apel sepuasku.
Maria Zaitun namaku. Pelacur dan pengantin adalah saya.
Ine, membuai para penyaksi Rendra hingga diujung sajak, yang menguras enerji kepiluan hati sang pelacur bernama Maria Zaitun. Meski sangat panjang, penonton terpukau dan tetap bertahan tak beranjak hingga larut malam tiba.
Magnitude Sang “Burung Merak” Rendra, sejenak berpindah ke atas panggung, selama kurang lebih 4 jam durasi pertunjukan. Panggung yang sengaja dibuat rendah agar sejajar dengan para penonton, pada bagian depan panggung terhampar puluhan bunga yang sengaja dibawah oleh para penonton dan diletakkan di atas sana.
”Saya mengenal dan membaca sajak-sajak Rendra saat dibangku SMA. Saya belajar ekspresi dan retoriak dari kaset rekaman suara Rendra. Malam ini, rasanya seperti melihat Rendra di atas panggung,” ungkap Ratih, seorang mahasiswi yang menyaksikan hingga akhir acara bersama teman-teman kampusnya. [] BAC