Hari-hari ini netizen sedang ramai mengecam Butet Kertaredjasa. Pemicunya adalah sebuah video berdurasi pendek yang diluncurkan pekan lalu dengan gambar seniman asal Yogyakarta tersebut. Dalam video, Butet mengatakan bahwa PT Freeport Indonesia punya bagian khusus yang tugasnya mengatur keseimbangan alam. “Ada tanggung jawab mengembalikan apa yang telah diambil dari alam untuk dikembalikan lagi pada alam. Dan ini saya kira suatu model pertambangan yang memperlihatkan keberadaban manusia,” demikian puji Butet terhadap Freeport.
Tak pelak, tokoh Sentilun yang sudah pensiun itu ramai dibully di media sosial. Akun Ak Supriyanto, seorang mahasiswa Indonesia yang tinggal di Porto, Portugal menulis status di facebook:
Butet mulai dikecam, meskipun baru satu dua. Konon, di Jogja cuma dua yang gak bakal kena bully: Sultan H. Bawono dan Butet. Kita saksikeun, sejauh mana kecaman itu berlanjut. #PerihPort
Ak Supriyanto juga mengritik Butet yang akhir 2015 bersama pelawak lainnya bertemu Presiden Jokowi di Istana sembari mengritik Setya Novanto.
kata teman saya, kalo politisi kelasnya #papamintasaham, kalo budayawan kelasnya #papamintareceh. kata saya, sesama kaum papa dilarang saling menyalip.
Satu lagi kecaman – karena kini kecaman sudah banyak – dari akun Facebook Andre Barahamin pengusaha muda pemilik sebuah kedai kopi:
Titip salam buat Butet K. Bilang ke dia. Kalo cari makan, yang cerdas dong. Jangan norak! Kau makan dari darah orang Amungme! Babi kau ini!
Ups…ngeri kali kecaman-kecaman itu. Mengapa kecaman itu begitu pedas ditujukan ke Butet? Menurut analisis saya, kita selama ini salah menilai Butet.
Kita keliru menganggap Butet adalah aktivis yang sudah melek HAM dan lingkungan. Butet adalah seniman biasa yang kerjanya ya mencari makan melalui conthongnya, mulutnya. Ia tak beda dengan Maroef Sjamsoeddin mantan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia atau Yuli Ismartono wartawan senior majalah Tempo yang pernah menjadi Humas dan Vice President perusahaan tambang itu. Ya hanya mencari makan melalui (di) Freeport.
Butet menirukan suara Soeharto saat menjelang diktaktor itu lengser, lalu kita tertawa. Saya juga tertawa sih, tapi tak sampai menganggap dia komedian cum aktivis. Butet tetaplah Butet ya seniman biasa yang pandai mengikuti tren di masyarakat. Di kalangan seniman, Butet adalah seniman yang paling pintar menghitung dan mengatur uang. Ia dan kelompoknya dipercaya oleh Yayasan Djarum dan sering mementaskan pertunjukan kesenian berbalut komedidi di pentas nasional.
Butet jelas berbeda dengan Semsar Siahaan (almarhum), seorang perupa cum aktivis seorang seniman sekaligus aktivis yang banyak memberikan warna pada dunia seni rupa di Indonesia. Sejak dekade 1980-an, nama Semsar Siahaan menonjol dalam berbagai kegiatan artistik dan juga dalam medan politik. Sosok yang berani dalam mengemukakan pendapat, pada kekuasaan.
Kekaguman seseorang pada tokoh tertentu bisa membuat kaget ketika tokoh yang dikagumi melakukan sesuatu di luar harapan. Nah.. saya termasuk orang yang ora gumunan dan ora kagetan. Saya mempunyai pengalaman pribadi dengan seorang tokoh hukum nasional, namanya ABN (sudah meninggal). Bagi banyak orang ABN adalah tokoh hukum dan HAM nasional. Bagi saya tidak. Beliau (saya masih menghormati dengan sebutan ini) adalah tokoh hukum hebat saja, tak perlu ditambahi pejuang HAM. Bagi saya, bagaimana mungkin seorang pejuang HAM menjadi pengacara pelanggar HAM (ABN pernah menjadi pengacara Jenderal Wiranto yang diduga melanggar HAM kasus Timor Timur).
Emha Ainun Nadjib juga pernah dikecam karena menjadi corong Lapindo Brantas. Cak Nun menyadari dirinya tak diterima di kalangan aktivis terutama lingkungan dan sejumlah media nasional karena pemihakan terhadap Lapindo. Pilihan memihak Lapindo jelas menyakitkan warga Sidoarjo yang terkena dampak bencana lumpur tersebut.
Sekali lagi, menurut analisis saya, Butet hanyalah pelawak biasa yang kurang bergaul dengan aktivis HAM dan apalagi aktivis lingkungan. Jadi ya begitulah mutu pendapatnya soal Freeport, yang penting pendapatannya…(kata Gus Dur gitu saja kok Freeport). Butet bukanlah seperti pelawak Jimmy Morales dari Guatemala yang akhir tahun lalu menang telak dalam pemilihan presiden walau dia tidak punya pengalaman politik.
Gara-gara Butet dibully soal Freeport, saya jadi teringat beberapa mahasiswa asal Papua yang mendapat beasiswa dari LPMAK (Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro) yang dibiayai Freeport. Menjelang pilpres 2014 lalu diadakan pelatihan Sistem Informasi Desa (SID) di STPMD “APMD” Jogja. Usai pelatihan saya iseng bertanya: “Kalian mau memilih di mana?” (maksud saya memilih di Papua atau di Jogja). Dengan kompak mereka menjawab, “Kami mo pilih Jokowi!”.