Besarnya alokasi anggaran belanja publik dari suatu negara merupakan salah satu indikator penting yang dapat menunjukkan tingkat kekuatan militernya. Oleh karenanya, aspek anggaran belanja militer telah sejak lama menjadi pusat perhatian para pengamat internasional dan pertahanan dalam rangka memahami sejauh mana postur dan kapabilitas angkatan bersenjata di suatu negara. Di sisi lain, besarnya anggaran militer juga dipandang penting sebagai unsur penopang politik luar negeri suatu negara. Besarnya anggaran militer akan menentukan seberapa besar tingkat pengaruh politik suatu negara dalam percaturan regional dan internasional. Dalam konteks inilah, sejumlah lembaga kajian strategis kerap melakukan riset untuk membuat peta kekuatan militer di dunia berdasarkan anggaran belanja dari berbagai negara.
International Institute for Strategic Studies (IISS) merupakan sebuah lembaga riset kenamaan dari Inggris yang kerap melakukan kajian strategis tentang peta global kekuatan militer. Lembaga ini telah merilis laporan terbaru tentang peringkat 20 negara dengan anggaran belanja militer terbesar di dunia untuk tahun 2015. Laporan yang terbit pada bulan Februari 2016 ini berjudul Military Balance: The Annual Assessment of Global Military Capabilities and Defence Economics.
Laporan tersebut telah menempatkan AS di peringkat pertama sebagai negara yang mengalokasikan anggaran militer terbesar di dunia. Sejak berakhirnya Perang Dunia II, posisi AS rupanya tetap tak tergoyahkan sebagai negara dengan anggaran belanja militer terbesar di dunia hingga saat ini. Sepanjang tahun 2015 negara ini membelanjakan 597.5 milyar US$ untuk keperluan militernya. Nilai tersebut, berdasarkan laporan IISS, setara dengan 3,3% dari GDP/PDB AS di tahun 2015.
Posisi ke dua diduduki oleh RRC. Di tahun 2015 negeri ini membelanjakan 145.8 milyar US$ untuk keperluan militernya. Nilai ini setara dengan 1,2% dari GDP negeri itu di tahun yang sama. Cukup menarik bahwa Arab Saudi ternyata berada di peringkat ke 3 sebagai negara dengan belanja militer terbesar di dunia. Namun berbeda dengan AS dan RRC yang mengalokasikan belanja militernya di bawah 5% dari GDP, alokasi belanja militer Arab Saudi mencapai 12,9% dari GDP.
Sementara itu, Rusia—yang menjadi rival utama AS sejak era Perang Dingin—ternyata “hanya” menduduki posisi ke empat sebagai negara dengan belanja militer terbesar di dunia. Negara yang kini dipimpin oleh Presiden Vladimir Putin ini membelanjakan anggaran militernya sebesar 65,6 milyar US$ atau setara dengan 4,1% dari GDP. Posisi ke lima ditempati oleh Inggris, sekutu abadi AS. Negeri ini menghabiskan anggaran belanja militernya sebesar 56,2 US$ untuk tahun 2015 atau setara dengan dari 2% GDP-nya.
Namun, lebih dari sekadar soal peringkat negara dalam belanja militer, terdapat beberapa hal yang penting dan menarik dari laporan untuk dianalisis lebih lanjut.
- Peta kekuatan militer dunia relatif mengalami pergeseran penting. Sekalipun dari 20 negara yang memiliki anggaran militer terbesar di dunia masih didominasi oleh negara-negara Barat, namun derajat dominasi tersebut tidak bersifat mutlak—sebagaimana yang terjadi pada dua atau tiga dekade yang lalu. Dari 20 negara yang memiliki belanja militer terbesar di dunia, 8 di antaranya adalah negara di benua Asia. Oleh karenanya, negara-negara di kawasan Asia telah menjadi pemain penting dan layak diperhitungkan di tingkat regional dan internasional dilihat dari segi belanja militer.
- Satu hal yang cukup menarik dari fenomena Asia adalah tidak munculnya Korea Utara dalam 20 negara papan atas dengan belanja militer terbesar. Di sisi lain, Korea Selatan justru masuk ke dalam 20 negara papan atas dengan peringkat ke 10. Pertanyaannya adalah, mengapa sikap politik AS dan Barat yang didukung oleh media mainstream lebih mewarnai opini dunia tentang “ancaman dan bahaya kekuatan militer Korea Utara”?
- Setidaknya terdapat dua jawaban atas pertanyaan tersebut. Pertama, rezim Korea Utara tidak berada di bawah orbit kepentingan global AS. Kedua, teknologi militer yang dikembangkan Korea Utara memang mengarah pada jenis senjata pemusnah massal yang cukup kontroversial. Oleh karenanya, wacana dan opini dunia lebih “tertarik” untuk menyoroti kekuatan militer Korea Utara—sekalipun negeri ini tidak tergolong ke dalam 20 negara papan atas dalam belanja militer.
- Negara-negara di benua Afrika masih tergolong “terbelakang” dalam kekuatan militer. Satu-satunya negara Afrika yang berada dalam daftar negara 20 papan atas dalam belanja militer adalah Aljazair. Negara ini menduduki peringkat ke 17 di dunia atau dan nomor satu di Afrika dengan dalam belanja militer. Aljazair telah membelanjakan sebesar 10,8 milyar US$ (6,2% dari GDP)untuk pengembangan militer.
- Kasus RRC cukup menarik untuk dicermati. Tiga dekade yang lalu, RRC masih berstatus sebagai negara berkembang. Kini, dengan belanja militer yang hanya 1,2% dari GDP-nya atau kurang dari setengah GDP AS, negara ini berhasil menduduki peringkat ke dua di dunia sebagai negara dengan belanja militer terbesar. Dapat dibayangkan, apa yang akan terjadi di kawasan Asia-Pasifik jika RRC menaikkan share GDP-nya untuk membiayai kekuatan militer.
- Di sisi lain, posisi politik RRC sendiri sama sekali tidak dapat dinyatakan sebagai bagian dari orbit kepentingan strategis AS dan Barat di kawasan Asia-Pasifik—sekalipun negara ini menerima dengan tangan terbuka masuknya investasi asing sebagai bagian dari kebijakan “Satu Negara; Dua Sistem”. Lebih dari itu, kekuatan militer RRC kini semakin bertumpu kemampuan domestik sambil mengurangi ketergantungan pasokan dari luar. Dapat dikatakan bahwa RRC merupakan sekutu AS dan Barat yang “kurang stabil”. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa RRC benar-benar mandiri dalam menentukan haluan politik luar negerinya. Oleh karenanya, dilihat dari sudut kepentingan global AS, kekuatan militer RRC—terutama di kawasan Asia-Pasifik—dapat diibaratkan sebagai pisau bermata dua.
- Arab Saudi kini semakin tampil sebagai salah satu pemain penting di kawasan Timur Tengah. Sebagai negara yang berada di posisi ke tiga di dunia dan nomor satu di Timur Tengah dalam belanja militer, posisi dan pengaruh politik negeri ini di kawasan Timur Tengah tentu saja sulit diabaikan.
- Dilihat dari konflik klasik Israel-Palestina yang kerap menjadi salah satu sumber utama ketegangan di kawasan tersebut ditambah dengan munculnya gerakan Islam fundamentalis (terorisme) yang beberapa tahun belakangan ini menyulut berkobarnya api peperangan di Suriah dan Irak, maka postur kekuatan militer Arab Saudi menarik untuk dicermati.
- Satu hal yang penting untuk dicatat adalah bahwa Israel—yang berada di peringkat ke 15 dari negara yang memiliki belanja militer terbesar di dunia—ternyata sama sekali tidak pernah menganggap kekuatan militer Arab Saudi sebagai ancaman bagi kepentingan nasionalnya. Sekurang-kurangnya, hampir tidak pernah dijumpai pernyataan resmi dari Israel yang bernada kritis menyangkut postur kekuatan militer Arab Saudi. Alih-alih merasa terancam oleh kekuatan militer Arab Saudi, para petinggi Israel justru lebih sering menyatakan secara terbuka bahwa program nuklir dan rudal Iran merupakan ancaman serius bagi Israel. Lebih dari itu, Iran sendiri juga kerap menyatakan secara terbuka di publik bahwa Israel adalah sumber ancaman paling serius di Timur Tengah.
- Di sisi lain, Iran ternyata tidak termasuk 20 besar negara dengan belanja militer terbesar di dunia. Blokade dan sanksi ekonomi terhadap Iran yang baru saja dibuka kembali pada tahun 2015 yang lalu sedemikian rupa telah mengkondisikan negeri ini menempuh jalur yang relatif berdikari dalam mengembangkan kekuatan militernya, sekalipun sebagian peralatan militer negeri ini masih dipasok oleh Rusia.
- Pertanyaannya adalah, mengapa Israel lebih melihat Iran (yang tidak tergolong dalam 20 negara terbesar dalam belanja militer) sebagai ancaman militer dibandingkan terhadap Arab Saudi (yang merupakan negara nomor satu di Timur Tengah dalam belanja militer)? Boleh jadi jawabannya adalah bahwa hampir 100% sumber pasokan peralatan militer Arab Saudi berasal dari negara-negara Barat, terutama Inggris dan AS—yang justru merupakan sekutu utama Isarel. Dapat diduga bahwa—selain tentu saja karena faktor profit—pembelian Arab Saudi terhadap peralatan militer Inggris dan AS telah melalui proses clereance pada top level politik di kedua negara yang memastikan bahwa kekuatan militer Arab Saudi tidak akan digunakan untuk menyerang Israel.
- Dengan kata lain, AS dan Inggris sudah barang tentu tidak akan membiarkan peralatan dan tekonologi militernya jatuh ke negara di Timur Tengah yang dapat membahayakan kepentingan Israel. Lebih dari itu, sepanjang yag dapat diketahui, Arab Saudi sendiri— sekalipun sebenarnya cukup memiliki kemampuan finansial— tidak memasok senjata kepada Palestina yang kerap bersitegang dengan Israel, terutama di jalur Gaza. Faktor ini agaknya menjadi penjelas tentang mengapa Israel lebih merasa “aman dan nyaman” dengan Arab Saudi dibandingkan dengan Iran.
- Di sisi lain, meskipun RRC dan Arab Saudi masing-masing menduduki peringkat satu dan dua dari seluruh negara yang memiliki anggaran militer tertinggi di benua Asia, terdapat perbedaan karakteristik yang penting di antara keduanya. Dalam pengembangan kekuatan militer, RRC jauh lebih mandiri dibandingkan dengan Arab Saudi yang praktis tergantung sepenuhnya pada pasokan dari luar.
- Opini umum dunia masih berpegang pada asumsi bahwa rivalitas kekuatan politik dunia masih berada pada poros relasi antara AS dengan Rusia, sekalipun Perang Dingin telah usai dan Uni Soviet telah menjadi negara demokratis dalam bentuk Rusia sekarang. Persoalannya adalah bahwa rasio belanja militer antara Rusia dan AS adalah 1 : 9. Di atas kertas, kekuatan militer Rusia berada jauh di bawah AS.
- Perang terhadap kaum teroris di Timur Tengah merupakan laboratorium lapangan yang dapat dijadikan ujian tentang sejauh mana besarnya anggaran militer berkorelasi dengan efektifitas penggunaannya. Setidaknya terdapat dua alasan mengapa Timur Tengah dapat dijadikan semacam laboratorium untuk menguji korelasi antara besarnya anggaran militer dengan efektifitas pendayagunaannya. Pertama, berbeda dari kawasan manapun di dunia saat ini, kawasan Timur Tengah relatif paling bergolak. Kedua, konflik bersenjata di Timur Tengah tidak saja telah menyeret negara-negara di kawasan itu untuk ikut terlibat di dalamnya, tetapi juga telah menyeret negara-negara lain di luar kawasan itu yang termasuk ke dalam Top Twenty negara dengan belanja militer terbesar di dunia.
- Setidaknya terdapat 4 negara yang tergolong Top Twenty dengan belanja militer terbesar di dunia yang tergabung dengan koalisi di bawah pimpinan AS dalam “Perang terhadap Terorisme” di Timur Tengah, yakni: Inggris (peringkat 5), Perancis (peringkat 7), Australia (peringkat 12), dan Kanada (peringkat 16).
- Di Suriah, Rusia yang muncul belakangan juga menggelar operasi militer untuk memerangi kelompok-kelompok teroris—sekalipun tidak berada dalam koalisi di bawah pimpinan AS. Dengan alokasi belanja militer yang jauh di bawah AS, Rusia ternyata mampu membiayai operasi militernya di luar negeri dengan efektif.
- Para pemimpin AS dan Barat menghadapi dilema pelik dalam menggelar operasi militer untuk memerangi kaum teroris di Suriah. Di satu sisi, AS dan Barat memiliki agenda yang sama dengan kaum teroris di negeri itu untuk menjatuhkan Presiden Assad dari kursi kepresidenannya. Namun, di sisi lain, opini dunia yang menentang berbagai tindakan brutal para teroris akhirnya memaksa AS dan Barat memerangi mereka. Akibatnya, perang anti-teror yang dilancarkan AS dan sekutunya terlihat serba tanggung. Implikasinya di lapangan adalah berlarutnya perang anti-teror yang lebih dari satu tahun sebelum akhirnya Rusia datang dan “membereskannya” dalam waktu hanya lima bulan. Dengan demikian, pendayagunaan militer Rusia tampak lebih efektif dalam mengalahkan kaum teroris di Suriah dibandingkan dengan AS dan sekutunya.
- Satu pelajaran berharga dari kasus perang terhadap terorisme di Timur Tengah adalah bahwa kekuatan militer yang dibiayai oleh anggaran yang cukup besar belum tentu lebih efektif dibandingkan dengan kekuatan militer dengan anggaran yang relatif lebih kecil. Di negara-negara yang menganut sistem demokrasi, pendayagunaan kekuatan militer pada akhirnya ditentukan oleh—dan tunduk pada—keputusan politik tingkat tinggi. Efektifitas pendayagunaan kekuatan militer, oleh karena itu, tidak dapat dipisahkan dari kualitas pengambilan keputusan politik di atasnya. Dengan demikian, efektifitas pendayagunaan kekuatan militer tidak hanya dilatarbelakangi oleh besarnya anggaran, tetapi juga memiliki koneksitas dengan keputusan politik. Munculnya aneka persoalan pada level politik akan memberikan pengaruh buruk pada efektifitas pendayagunaan kekuatan militer—sekalipun didukung oleh anggaran yang cukup besar.
20 Negara dengan Belanja Militer Terbesar Di Dunia (2015)

Peneliti LP3ES, Redaktur Prisma dan Direktur Kalimasadha Nusantara Institute (KNI)