Mengapa Reklamasi Teluk Benoa-Bali Harus Ditolak, Ini Kata ForBALI

Batalkan Perpres No. 51 Tahun 2014

0
2066

Kebijakan reklamasi Teluk Benoa, Bali, sejak awal telah menimbulkan polemik dan kontroversi baik di masyakat Bali maupun secara nasional. Sikap pemerintah Provinsi Bali yang tetap ngotot melaksanakan kebijakan tersebut, tak ayal mendapat perlawanan dari masyarakat Bali pada umumnya. Belakangan, dukungan terhadap gerakan perlawanan masyarakat Bali terus berdatangan dari berbagai kalangan di luar Bali, terutama setelah gerakan tersebut menguat, solid, dan teroganisir lewat Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBALI).

ForBALI adalah aliansi masyarakat sipil Bali lintas sektoral yang terdiri dari Desa Adat, LPM, Dusun, Banjar Adat & STT (Sekaa Truna-Truni /Lembaga Pemuda Adat), lembaga dan individu baik mahasiswa, LSM, seniman, pemuda, musisi, akademisi, dan individu-individu yang peduli lingkungan hidup dan mempunyai keyakinan bahwa Reklamasi Teluk Benoa adalah sebuah kebijakan penghancuran Bali.

Berbagai aksi dan kampanye penolakan terhadap reklamasi Teluk Benoa terus dilakukan ForBALI hingga saat ini. Persoalan yang mereka ungkapkan selain menyangkut ijin yang dianggap rancu, proses pengambilan kebijakan yang nihil partisipasi publik dan manipulatif, juga yang terpenting berkaitan dengan urgensi kebijakan tersebut yang faktanya kontradiktif.  Dikutip dari laman forbali.org, rakyat Bali menegaskan 13 alasan mengapa mereka menolak reklamasi Teluk Benoa.

Kronologi Kebijakan

26 Desember 2012 Gubernur Bali I Made Mangku Pastika memberikan izin reklamasi kepada PT. Tirta Wahana Bali Internasional (PT TWBI) di kawasan perairan Teluk Benoa, Kabupaten Badung, seluas 838 hektar, melalui SK Nomor 2138/02-C/HK/2012 tentang Rencana Pemanfaatan dan Pengembangan Kawasan Perairan Teluk Benoa.

16 Agustus 2013, SK Nomor 2138/02-C/HK/2012 dicabut melalui penerbitan SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 tentang Izin Studi Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa Provinsi Bali.

Penerbitan SK nomor 1727/01-B/HK/2013 tersebut di atas tetap tidak menutup polemik rencana reklamasi, karena pada dasarnya SK tersebut hanyalah sekedar revisi dari SK yang pertama dan tetap dalam aras pemberian hak kepada PT. TWBI untuk melakukan kegiatan reklamasi berupa kegiatan studi kelayakan di Teluk Benoa Bali.

Selain karena proses penerbitan izinnya secara diam-diam, dan manipulatif, penerbitan izin tersebut juga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, yaitu Perpres No 45 Thn 2011 tentang tata ruang kawasan perkotaan Sarbagita, di mana kawasan teluk benoa termasuk kawasan konservasi; serta Perpres No 122 Thn 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang melarang reklamasi dilakukan di kawasan konservasi.

Di akhir masa jabatannya sebagai Presiden, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan Perpres No 51 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Perpres No 45 Thn 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan SARBAGITA. Perpres ini intinya mengubah status konservasi TelukBenoa menjadi zona penyangga atau kawasan pemanfaatan umum.

Penerbitan Perpres No 51 Tahun 2014 menghapuskan pasal-pasal yang menyatakan Teluk Benoa adalah kawasan konservasi sebagaimana yang disebutkan di dalam pasal 55 ayat 5 Perpres No 45 Tahun 201, serta mengurangi luasan kawasan konservasi perairan dengan menambahkan frasa “sebagian” pada kawasan konservasi Pulau Serangan dan Pulau Pudut. Hal tersebut menyebabkan kawasan konservasi di wilayah SARBAGITA menjadi berkurang luasannya. Perpres No 51 Tahun 2014 lahir hanya untuk mengakomodir rencana reklamasi Teluk Benoa seluas 700 ha.

Pasca penerbitan Perpres 51 tahun 2014 tersebut, kemudian PT. TWBI) juga mengantongi izin lokasi reklamasi nomor 445/MEN-KP/VIII/2014 dari Menteri Kelautan dan Perikanan di kawasan perairan Teluk Benoa yang meliputi Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, seluas 700 hektar.

Demi rencana reklamasi Teluk Benoa, pemerintah dan investor selama ini selalu mempromosikan di Teluk Benoa terjadi pendangkalan dan sedimentasi. Akan tetapi solusi yang ditawarkan investor justru kontradiktif. Jika Teluk Benoa terjadi pendangkalan maka yang perlu dilakukan adalah pengerukan bukan reklamasi Teluk Benoa dengan membuat pulau-pulau baru seluas 700 hektar. Sebab, reklamasi ini rencananya akan mendatangkan 40 juta meter kubik material baru dari luar Teluk Benoa yang justru menyebabkan pendangkalan permanen di Teluk Benoa.

Universitas Udayana (UNUD) telah memberikan keterangan resmi melalui media massa bahwa hasil studi kelayakan atas rencana reklamasi Teluk Benoa oleh PT. TWBI dinyatakan tidak layak. Ketidaklayakan itu berdasakan penelitian dan kajian dari 4 aspek yaitu: aspek teknis, aspek lingkungan, aspek sosial budaya dan aspek ekonomi finansial.

Minimnya partisipasi publik dalam terbitnya Perpres 51 tahun 2014

Sedari awal upaya pemaksaan untuk melakukan perubahan Perpres No 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan SARBAGITA sudah diprediksi. Sejak Presiden SBY memanggil secara khusus Yusril Ihza Mahendra, praktis sejak itu pihak pemerintah agresif melakukan upaya revisi Perpresnya. Berbagai pertemuan dilakukan yang digagas oleh pemerintah pusat, mulai dari hearing dengan para akademisi non-Universitas Udayana, sampai pelaksanaan konsultasi publiknya dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi. Seluruh proses hanya melibatkan kelompok yang pro reklamasi sementara komponen masyarakat yang menolak reklamasi dipinggirkan.

Catatan terakhir ForBALI adalah pada hari Senin, 14 April 2014 pukul 14.30 WITA bertempat di Ruang Rapat Cempaka Kantor Bappeda Provinsi Bali, Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) bersama dengan Pemerintah Provinsi Bali, mengadakan Konsultasi Publik tentang rencana perubahan pasal 55 ayat (5) Perpres No. 45 Thn 2011 khususnya pada yang menyatakan bahwa Teluk Benoa adalah kawasan konservasi perairan untuk diubah menjadi kawasan pemanfaatan umum. Di dalam konsultasi publik ini tidak satupun pihak yang menolak rencana reklamasi Teluk Benoa dilibatkan.

Dampak

Secara administratif Teluk Benoa terletak di perairan lintas kabupaten/kota yaitu Kota Denpasar dan Kabupaten Badung, masuk dalam tiga kecamatan yaitu Denpasar Selatan, Kuta dan Kuta Selatan. Perairan Teluk ini dikelilingi oleh 12 desa/kelurahan, masing-masing 6 desa/kelurahan di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung.

Teluk Benoa merupakan perairan pasang surut, terletak di belahan selatan Pulau Bali. Perairan Teluk Benoa paska reklamasi Pulau Serangan merupakan tipologi teluk semi-tertutup karena mulut teluk yang menyempit hingga 75%. Secara teoritis, luas perairan Teluk Benoa yang diukur pada sisi terluar garis pantai adalah 1.988,1 ha, dapat dibagi ke dalam 3 zona yaitu zona 1 (zona dengan garis mulut teluk ditarik dari dermaga Pelabuhan Benoa dan Tanjung Benoa) seluas 1.668,3 ha, zona 2 (zona antara Pelabuhan benoa dan Pulau Serangan) seluas 231,3 ha, dan zona 3 (zona antara Suwung Kangin dan Pulau Serangan) seluas 88,5 ha.

Jika reklamasi di kawasan perairan Teluk Benoa dipaksakan maka reklamasi tersebut akan berpotensi menimbulkan masalah baru sebagai berikut:

ForBALI-Newsletter-2_Page_1