Penyaderaan 10 WNI oleh kelompok bersenjata Abu Sayyaf membuat sempalan Moro Islamic Liberation Front (MILF) di Mindanao selatan ini kembali menjadi pusat pemberitaan. Peristiwa ini mengingatkan pada penyandaraan 21 turis dari Kepulauan Sipadan, 23 April 2000, dan atas perintah Presiden Filipina Joseph Estrada tentara menyerang posisi Abu Sayyaf dan membebaskan sandera. Mengapa hingga kini Abu Sayyaf tetap angkat senjata melawan Manila?
Abu Sayyaf, kini menjadi primadona pemberitaan di media massa internasional termasuk di Indonesia. Penyanderaan terhadap turis dan kemudian juga beberapa wartawan asing oleh Abu Sayyaf bukanlah teror pertama yang mereka lakukan. Pada 1995, bersama MILF dan ICC (faksi sempalan Moro National Liberation Front, MNLF), Abu Sayyaf menyerang dan merampok kota pesisir Ipil di Zamboanga del Sur serta menewaskan sekitar 50 orang. Kekerasan seolah telah menyatu dengan sejarah Mindanao sejak kedatangan bangsa Spanyol di Filipina. Namun, justru ketika Nur Misuari bersama MNLF meletakkan senjata dan kini sibuk membangun bangsa Moro, mengapa masih ada kelompok seperti MILF dan Abu Sayyaf yang terus menggunakan kekerasan dan terorisme?
Marites D. Vitug adalah seorang wartawan yang berpengalaman selama 20 tahun meliput Mindanao. Ia bersama Glenda M. Gloria menulis buku Under The Crescent Moon: The Rebellion in Mindanao (2000). Ia wawancara langsung dengan para pelaku, baik kelompok Abu Sayyaf, MILF, MNLF, maupun pihak pemerintah dan tentara Filipina.
Menurut Marites, sejarah panjang pemberontakan muslim di Filipina, dimulai setelah adanya Pembantaian Jabidah pada Maret 1968. Pada waktu itu seluruh negeri terkejut atas peristiwa pembunuhan 23 orang muslim di Corregidor. Para sukarelawan muslim Mindanao yang dilatih dalam taktik gerilya oleh pasukan resmi Filipina dibunuh atas perintah komandan pasukan. Mereka menolak dikirim ke Sabah, Malaysia, guna melakukan infiltrasi militer. Peristiwa yang sangat dramatis ini makin menguatkan muslim Filipina untuk memisahkan diri dengan Manila karena selalu diperlakukan diskriminatif. MNLF, yang merupakan organisasi perlawanan pertama dan terbesar, berdiri setelah peristiwa itu.
Marites mewawancarai Bocalan, seorang anggota militer yang tergabung dalam Operation Merdeka pada akhir 60-an. “Marcos meminta bantuan saya tentang Sabah. Tugas saya adalah membiayai operasi jutaan peso, memberi makan orang-orang Filipina, dan membayar gaji,” kata Bocalan pada 1998. Hanya kelompok kecil dalam Armed Forces of Philippine (AFP) yang terlibat dalam Operasi Merdeka. Sampai saat ini kasus itu masih gelap.
Para pejabat AFP selalu menolak berbicara tentang Operasi Merdeka yang menyulut kelahiran MNLF tersebut.
Perang antara AFP dan gerilyawan MNLF kemudian meledak hingga Perjanjian Tripoli ditandatangani pada 23 Desember 1976 di Libya. Pemerintah Ferdinand Marcos dan MNLF menyetujui perdamaian dan pemberian otonomi penuh atas 13 provinsi di Mindanao untuk mengakhiri perang separatisme. Pada waktu itu peperangan telah menelan korban 120 ribu orang dan pengungsian sebanyak 300 ribu warga. Pada kenyataannya perjanjian damai itu hanyalah di atas kertas. Pertempuran demi pertempuran terus berlangsung di Mindanao, tapi juga perundingan untuk penyelesaian masalah ini terus berjalan.
Pada September 1996 terjadi kulminasi perundingan damai antara MNLF dan pemerintah Filipina, dengan juru runding yang hampir sama, yaitu Libya. Kesepakatan inilah yang membawa MNLF menyetujui pemerintahan otonomi dalam Autonomous Region in Muslim Mindanao (ARRM). Sementara itu, 7.500 orang dari sekitar 20 ribu sampai 40 ribu bekas gerilyawan kini tergabung dalam AFP dan National Police. Bagi yang tak tertampung dalam militer atau polisi, pemerintah membentuk Southern Philippines Council for Peace and Development (SPCPD). Sejak itulah miliaran peso dikucurkan dari Manila untuk pembangunan di wilayah Mindanao yang dipimpin Nur Misuari. Sementara itu, jutaan dolar Amerika Serikat juga mengalir ke sini lewat PBB dan bantuan bilateral, belum lagi bantuan khusus dari negara-negara Islam anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Maraknya pembangunan di Mindanao ternyata bukan jaminan terjadinya perdamaian sejati. Kelompok garis keras MILF pimpinan Salamat Hashim dan kelompok Abu Sayyaf yang selama ini mengkritik Nur Misuari tetap menginginkan terwujudnya Negara Islam Mindanao yang terpisah dari Manila. Meskipun kecil, kedua kelompok ini tetap merepotkan siapa pun yang menghuni Istana Malacanang. Bahkan pada saat Presiden Abdurrahman Wahid berkunjung ke Manila, Presiden Estrada ingin meminta bantuan Gus Dur menjadi juru damai Manila-MILF. Maka, dirancanglah pertemuan antara Gud Dur dan Salamat Hashim. Gus Dur dan Hashim pernah mendapat pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo. Ide mempertemukan kedua tokoh ini datang dari Abu Hartono, Duta Besar RI di Manila, yang juga mengambil bagian dalam pembicaraan damai pemerintah dan MNLF.
Nur Misuari gagal memimpin Pemerintahan Otonomi Mindanao yang berpenduduk 2 juta, ia bahkan terlibat korupsi. Tak hanya itu, tokoh moderat ini kemudian terlibat lagi pemberontakan pada 2001, melarikan diri selama lima hari di Malaysia dan berhasil ditangkap.
Nur Misuari yang moderat saja gagal dan pada akhirnya melawan Manila. Apalagi Abu Sayyaf yang sejak awal ingin agar Mindanao melepaskan diri dari Filipina. Kini Abu Sayyaf tak lebih sekadar teroris atau pelaku kriminal yang sering menyandera turis atau pelaut demi mendapatkan uang tebusan.