Rabu, 27 September 23

Mengapa Aksi Blokade Truk Sampah ke TPA Galuga Jadi Agenda Rutin ? 

Dalih mengganggu atau mencemari lingkungan akibat keberadaan TPA Galuga, seringkali terjadi. Penghadangan truk sampah Dinas Kebersihan Pertamanan Kota Bogor, bukan satu kali terjadi, tapi sudah berulangkali. Hal itu selalu berulang, setiap tahun, bahkan nyaris tiap bulan.

Berdasarkan informasi yang diperoleh indeksberita.com, penghadangan truk sampah sudah kerap kali dilakukan. Pada tahun ini, diawali pada 25 Januari 2016 lalu, pemblokiran pernah dilakukan selama tiga hari. Ratusan truk yang membawa puluhan ribu ton sampah pun terpaksa diparkir di halaman kantor DKP dan Jalan Raya Paledang karena warga dan LSM Komite Revormasi dan Keadilan (Korek) saat itu memblokir TPA Galuga. Mereka menuntut Pemerintah Kota dan Kabupaten Bogor merelokasi TPA Galuga.

Selanjutnya, 7 April 2016, penghadangan truk sampah kembali dilakukan warga Kampung Cisasah, Desa Cijujung, Kecamatan Cibungbulang. Sedikitnya ada 18 truk yang terpaksa disita warga. Mereka (warga, red) kesal lantaran air lindi Galuga telah mencemari lingkungan dan lahan pertanian warga.

Kemudian, 31 Oktober 2016, lagi-lagi penghadangan truk DKP yang akan membuang sampah ke TPA Galuga kembali dilakukan oleh sekitar 50 warga Desa Galuga, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, di Jl Raya Dramaga, depan Kampus IPB. Penghadangan dilakukan karena warga menuntut ganti rugi atas pencemaran yang ditimbulkan oleh TPA Galuga.

Armada pengangkut sampah tidak dibolehkan membuang muatannya ke TPA Galuga, sampai tuntutan warga diakomodir oleh pemerintah terkait. Akibat penghadangan tersebut, armada pengangkut sampah terpaksa berbalik arah.

Dan terakhir, aksi penghadangan terjadi sejak Kamis (18/17/2016) lalu. Akibatnya, sebanyak 117 truk sampah DKP Kota Bogor terpaksa balik arah dan memarkirkan kendaraan yang penuh dengan muatan sampah disepanjang Jalan Paledang. Aksi blokade ini dilakukan Forum Solidaritas Masyarakat sekitar TPA Galuga (FOSGA). Penuturan Hardi, warga Desa Galuga, petani setempat sudah merasa dirugikan sejak 1985 dengan adanya aktivitas pembuangan sampah di Galuga. Dia mengatakan, lahan pertanian milik warga sekitar tercemar oleh air lindih yang dihasilkan dari TPA Galuga. Petani tidak mendapatkan hasil maksimal yang menunjang perekonomiannya. Menurutnya, total ganti rugi yang harus dibayarkan pemkot dan Pemkab Bogor idealnya sebesar Rp3,9 miliar dengan luas lahan pertanian yang terdampak 9,4 hektare. Sebab, di lingkungan TPA Galuga, terdapat 5.000 jiwa di Desa Galuga yang dirugikan.

“Warga dulunya bercocok tanam palawija. Terus diarahkan menanam padi. Lalu ada TPA, memang padinya hidup tapi jadi muncul masalah baru buat warga, salah satunya dampak kesehatan” katanya.

Informasi yang dihimpun, saat ini total sampah Kota Bogor sebanyak 2.600 meter kubik, sedangkan sampah yang bisa terangkut dalam satu hari menggunakan 117 truk sampah sebanyak 1900 meter kubik. Sementara, sisa sampah yang tidak terangkut dikelola di 25 tempat pembuangan sampah sementara dengan rasio masing-masing pengelolaan 10 hingga 15 meter kubik per hari.

Sementara, Kepala UPTD Sampah DKP Kota Bogor Iwan Permana belum bisa memastikan ratusan truk membuang sampah ke TPA Galuga, karena masih terjadi pemblokiran oleh warga sekitar. Pasalnya, warga bersikeras menuntut ganti rugi atas kerusakan lahan pertanian, yang mereka tuding tercemar limbah sampah selama bertahun-tahun.

“Kami tidak bisa mengakomodir begitu saja keinginan warga, karena ada mekanisme dan peraturan yang tidak boleh dilanggar,” terang Iwan.

Hal lain yang membuat truk sampah kerap dihadang warga karena adanya akta perdamaian (Anta Van Dading) Putusan PN Cibinong Nomer 63/Pdt/G/2002/PN Cbn yang dikeluarkan 9 Juni 2002, yang menyatakan bahwa TPA Galuga harus ditutup dan tempat pembuangan sampah direlokasi ke tempat lain, dengan batas waktu hingga 2005. Namun, hingga saat ini putusan tersebut belum dieksekusi, dengan pertimbangan Pemkot dan Pemkab Bogor belum punya lokasi pembuangan sampah. Sebaliknya, perpanjangan tempat pembuangan sampah terus dilakukan dua pemerintahan daerah, Kota dan Kabupaten Bogor.

Dalam akta perdamaian itu juga, Pemkot dan Pemkab Bogor berkewajiban memenuhi 20 tuntutan warga diantaranya pembuatan sumur bor, kolam leacheate, pembuatan emplasmen, pembuatan tempat pemeriksaan kesehatan dan saluran air dari mata air gunung Handeleum. (eko)

- Advertisement -
Berita Terbaru
Berita Terkait