Kamis, 30 November 23

Mencari Posisi Purnawirawan di Ranah Publik: In Memoriam Jenderal Djoko Santoso

Selaku pengamat militer yang hanya mengandalkan informasi dari (khususnya) media cetak, tidak semua figur militer bisa saya lihat secara langsung saat mereka masih berdinas aktif. Beberapa di antaranya baru bisa saya temui saat sudah memasuki purnawirawan, ketika aturan protokoler tidak lagi terlalu ketat, utamanya bagi mereka yang dulunya menduduki jabatan tinggi. Salah satu figur TNI yang saya maksud adalah Jenderal (Purn) Djoko Santoso (Akmil 1975), yang baru meninggal pada Minggu pagi kemarin (10/5).

Namun saya masih merasa beruntung diberi kesempatan bertemu dengan beliau, salah satu perwira yang pernah menduduki posisi puncak, yakni sebagai KSAD (2005-2007) dan Panglima TNI (2007-2010). Pertemuan dengan beliau kebetulan sama-sama terjadi di bulan Januari, yakni dalam acara memperingati Peristiwa Malari 1974, tahun ini dan tahun lalu (2019). Jadi jaraknya persis setahun. Namun suasana yang menyelimuti Djoko Santoso (DS) sudah sangat berbeda.

Pada peringatan Malari tahun 2019 di TIM, DS tampak masih gagah dan masih banyak orang yang mengerumuninya, utamanya para jurnalis. Tentu hal itu tidak bisa dilepaskan dari posisi DS sebagai koordinator tim sukses capres Prabowo Subianto (Akmil 1974). Pada Januari 2019 situasi politik Jakarta sudah mulai panas, wajar bila DS begitu menarik perhatian orang banyak, sehingga menciptakan kerumunan di sekelilingnya.

Situasi kontras terjadi setahun berikutnya, saat DS hadir pada acara Malari tahun ini. Tak ada lagi orang yang mengelu-elukannya, atau jurnalis yang menguber-uber dirinya. Dalam waktu setahun semua telah berubah. Saat itu DS hanya duduk santai dengan para purnawirawan dan beberapa tokoh sepuh lainnya, yang mungkin sudah bagian dari masa lalu pula. Saya sempat menatap dari kejauhan, ya benar, kondisi fisik (termasuk air mukanya) tidak sebugar setahun sebelumnya.

Pada Januari lalu, situasi politik di Jakarta sudah mulai landai, tak ada lagi pertarungan dua kubu, yang cenderung bising dan memakan banyak energi. Prabowo sudah bergabung pada kabinet, praktis perjuangan DS sebagai “panglima” tim sukses Prabowo selesai sudah. Mungkinkah ketiadaan tantangan bagi DS, selalu mantan komandan pasukan di masa lalu, menjadikan dirinya seolah kurang bersemangat, seperti yang saya lihat pada acara Malari siang itu.

DS adalah lulusan Akmil 1975, bersama nama-nama besar lain dari generasi ini, seperti Syaiful Rizal (lulusan terbaik), Erwin Sujono, Zamroni, Amirul Isnaeni, Tono Suratman, Rasjid Qurnain Aquari, Slamat Sidabutar, Tisna Komara, dan seterusnya. Namun semua sudah mahfum, jabatan jenderal adalah posisi politis, tidak semata-mata prestasi dan kinerja. Dalam komunitas perwira, ada istilah “garis tangan” dalam karier, artinya ada unsur nasib baik. Kira-kira begitu pulalah yang terjadi pada DS.

Sejak masih di pasukan dulu, DS sudah dikenal dekat dengan SBY. Tidak berlebihan kiranya bila DS dianggap sebagai alter ego dari SBY. Karier keduanya seolah selalu beriringan, ketika SBY menjadi Danrem Yogya, DS kemudian juga menjadi Danrem di kota gudeg tersebut. Kemudian ketika SBY menjadi Kasdam Jaya, salah satu asistennya adalah DS (Aster Kodam Jaya).

DS tentu tidak akan melupakan sentuhan SBY, ketika dia ditarik sebagai Waassospol Kassospol ABRI, ketika SBY menjadi Kassospol ABRI. Dalam posisi ini DS menyandang pangkat bintang satu, sebagai lulusan Akmil 1975 pertama yang masuk level pati. Menjadi brigjen adalah impian semua perwira lulusan Akmil, terlebih dalam situasi seperti sekarang, dimana sempat terjadi surplus kolonel.

Sehingga tidak terlalu mengherankan bila kemudian DS diberi ruang yang begitu luas saat SBY menjadi presiden (2004-2014), dan berlanjut mendampingi Prabowo, yang semuanya adalah bagian dari keluarga besar Brigade 17 Kostrad, dimana ketiganya pernah bergabung. Saat SBY menjadi Presiden, karier DS mencapai puncaknya sebagai KSAD dan Panglima TNI.

Berdasar pengamatan pada DS pada dua peringatan Malari tersebut, bahwa seorang purnawirawan selalu membutuhkan medium pengabdian, agar bisa selalu berhubungan publik atau massa. Bila tidak ada tempat, secara psikologis mereka akan limbung, mengingat di masa aktif dulu mereka selalu dikelilingi anggota pasukan, yang selalu siap menjalankan perintahnya setiap saat. Sebuah situasi yang sekonyong-konyong sirna ketika memasuki fase purnawirawan.

Aktif dalam pilpres atau pilkada hanyalah salah satu medium agar selalu terhubung dengan publik, baik saat maju sebagai calon pimpinan, maupun sekadar tim sukses. Bergabungnya sejumlah purnawirawan dalam kepengurusan partai, adalah bagian dari aspirasi agar selalu terjaga hubungan dengan publik, dan siapa tahu bisa menggapai kekuasaan. Para purnawirawan (khususnya strata pati) tetap memperoleh posisi khusus dalam masyarakat kita, sebuah tradisi yang berlangsung lama. Mereka seakan memiliki privilese yang belum tentu diperoleh kelompok pensiunan birokrasi lembaga sipil.

Terkait dukung-mendukung capres, kita bisa paham sejatinya tidak ada “ideologi” yang permanen bagi purnawirwan ketika mendukung salah satu kandidat. Untuk purnawirawan sekelas Luhut B Panjaitan (Akmil 1970) atau Djoko Santoso, kompensasi yang bakal didapat jelas setara dan bersifat langsung, bila kandidat yang didukungnya meraih kemenangan, yakni masuk jajaran kabinet.

Namun kali ini “garis tangan” DS berbicara lain, ketika Prabowo gagal meraih kemenangan. Selalu ada hikmah dari sebuah peristiwa, dengan kekalahan Prabowo, DS bisa lebih santai, sebagaimana yang kita lihat pada peringatan Malari empat bulan lalu. Namun kini semua telah menjadi sejarah, seiring kepergian beliau menghadap Sang Khalik.

- Advertisement -
Berita Terbaru
Berita Terkait