Kamis, 7 Desember 23

Mempersoalkan Penambahan Usia Pensiun Bintara dan Tamtama

Presiden Jokowi baru-baru ini melemparkan wacana soal penambahan usia pensiun bintara dan tamtama, dari sebelumnya 53 tahun menjadi 58 tahun. Salah satu pertimbangan Presiden Joko Widodo adalah, prajurit berusia 53 tahun masih tergolong sehat dan segar sehingga masih dapat bertugas. Terus terang ini wacana menarik, karena dalam pembahasan isu militer, biasanya lebih banyak dibahas soal karier atau peta politik lapisan perwira, sedang soal nasib bintara dan tamtama, jarang sekali dibicarakan.

Bila kita mengambil kiasan tentang sebuah perusahaan atau industri, perwira setara dengan kelompok white collar, sementara tamtama adalah blue collar, dan bintara kira-kira dalam posisi di antara keduanya. Dalam tradisi Angkatan Darat di mana pun, jadi bukan hanya di TNI, bintara biasa disebut sebagai tulang punggung organisasi (the backbone of the army). Istilah tersebut untuk menggambarkankan demikian strategisnya posisi bintara, yakni sebagai jembatan komunikasi antara perwira dan tamtama.

Perwira dibentuk sebagai intelektual atau penentu kebijakan, dan agar semua konsep perwira bisa dilaksanakan tamtama dengan baik di lapangan, dibutuhkan seorang bintara sebagai penyelia (supervisor). Secara singkat bisa dikatakan, bahwa dalam sebuah satuan atau organisai TNI, mulai dari perwira sampai tamtama, semuanya memiliki fungsi yang jelas. Dan fungsi ini diberi label jabatan. Dalam sebuah kompi satuan infanteri misalnya, perwira dalam posisi sebagai komandan kompi dan komandan peleton, dan tamtama sebagai pemegang senjata. Sementara bintara dalam posisi sebagai komandan regu, pelatih (bagi tamtama) dan pendamping perwira.

Terkait dengan jabatan, bila perwira berpangkat kolonel saja bisa non-job, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi pada bintara (dan tamtama), tentu akan mengalami hal serupa, bila usia pensiun akan ditambah. Terlebih bagi tamtama, yang fungsinya memang pelaksana di lapangan. Kelak mereka akan diberi tugas apa bila pensiun pada usia 58 tahun? Sementara tugas-tugas di lapangan membutuhkan syarat stamina fisik yang prima, apakah mungkin bisa dipenuhi bagi tamtama yang usianya sudah di atas 50.

Kemudian soal karier, tamtama dalam usia kisaran 50, berarti pangkatnya sudah kopka (kopral kepala), pangkat tertinggi dalam level tamtama. Artinya kariernya sudah berhenti, lalu buat apa pula dipertahankan di satuan, bila kelak hanya akan menjadi beban organisasi. Kita sudah sering mendengar, bagaimana perilaku tamtama senior (kopral), yang sering berbuat ulah di pasukan dan masyarakat, karena sudah kurang dilibatkan juga dalam tugas-tugas operasional satuan, karena faktor usia dan kebugaran.

Pembinaan karier bintara pada dasarnya merupakan suatu sistem integral, meliputi pembinaan personel, termasuk pendikan dan latihan, yang merupakan satu paket. Sistem ini dimaksudkan untuk membentuk, membina, dan mengembangkan para tamtama dan bintara, dalam usaha mencapai tujuan organisasi, dengan kesiapan optimal. Pola karier bintara dan tamtama, harus menyesuaikan hubungan antara pangkat dan tingkat kecakapan, sesuai pola SJM (spesialisasi jabatan militer).

Kita harus belajar dari fenomena surplus kolonel dan bahkan jenderal, yang hari-hari ini sedang terjadi. Sudah bisa dibaca, rencana pemerintah akan berdampak pada penumpukan bintara dan tamtama, seperti kasus penumpukan perwira hari ini. Rencana penambahan usia pensiun, perlu dipikirkan ulang, mengingat akan terjadi peningkatan anggaran belanja negara. Negara harus mendanai operasional anggota TNI yang seharusnya sudah mencapai usia pensiun.

Dengan dana operasional yang cukup besar itu, penambahan usia pensiun ini dinilai berpotensi menjadi dalih bagi TNI untuk semakin banyak menjalin kerja sama dengan pihak swasta. Bisnis-bisnis militer akan riskan terjadi, dan dianggap sebagai jalan keluar yang wajar untuk menutupi dana operasional yang mestinya dibebankan kepada negara

Penumpukan perwira saja, pemerintah belum bisa mengatasi, padahal mereka adalah lapisan terdidik secara intelektual, lalu bagaimana bila terjadi penumpukan pada bintara dan tamtama. Skema penyelesaian soal itu belum lagi jelas. Salah satu opsi yang bisa diambil adalah, usia pensiun tetap mengikuti peraturan yang sekarang, namun para bintara dan tamtama tersebut diberi modal pengetahuan dan pemberdayaan ekonomi, bagi pengembangan usaha selepas pensiun.

Dulu pada tahun 1970-an ada yang disebut program transad (transmigrasi Angkatan Darat), yakni program transmigrasi bagi bintara atau tamtama yang sudah memasuki usia pensiun. Skema seperti transad tersebut, bisa dijadikan pertimbangan dalam kondisi saat ini. Berdasarkan pertimbangan dalam usia di atas 55, sejatinya sudah tidak ada tempat bagi bintara dan tamtama di satuan, karena kebugaran sudah jelas menurun. Kita harus ingat, bagi bintara, terlebih lagi tamtama, kebugaran dan kekuatan fisik adalah syarat utama.

Dan jangan pula, wacana menaikkan usia pensiun berlatar motif politik, yakni guna memperoleh simpati dari kops bintara dan tamtama (beserta keluarganya), untuk kebutuhan sesaat, terkait dukung-mendukung dalam pilpres misalnya. Kalau pertimbangannya politis, jelas sangat mengkhawatirkan, karena bakal menyimpan masalah berlarut-larut di masa depan, seperti pemborosan anggaran negara dan pemanfaatan SDM yang tidak efisien.

 

Penulis : Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer (khususnya TNI AD). Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu
Penulis : Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer (khususnya TNI AD). Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu
- Advertisement -
Berita Terbaru
Berita Terkait