Untuk memperoleh gelar Pahlawan Nasional memerlukan proses yang panjang, dan bisa jadi melelahkan. Di negeri kita, banyak figur besar, namun kita tidak pernah tahu, akankah gelar itu akan singgah pada dirinya, salah satunya adalah Letjen (Purn) Dading Kalbuadi. Nama Dading akan selalu dikenang, khususnya bila kita membahas operasi militer di Timor Timur (kini Timor Leste) di masa lalu.
Secara kebetulan Dading meninggal tak lama setelah rakyat Timor Leste mengadakan referendum (30 Agustus 1999), dan sebagaimana kita tahu, rakyat Timor Timur lebih memilih berpisah dari RI. Mungkinkah Dading menyimpan kesedihan yang begitu mendalam melihat kenyataan itu, sehingga mempercepat proses kematiannya? Semua masih misteri, dan sekali lagi, hanya Tuhan yang tahu.
Banyak pelajaran yang bisa kita petik dari perjalanan hidup manusia, terlebih bila orang tersebut adalah figur kuat seperti Dading. Sebagai seorang tentara, Dading sudah memulai praktik pertempuran sejak belia, saat masih duduk di bangku SMP di Purwokerto. Artinya riwayat operasi tempur Dading terbilang panjang. Namun kawasan Timor Timur memiliki jejak sendiri bagi Dading, antara Dading dan Timor Timur seolah sudah identik. Nama Dading termahsyur karena memimpin operasi di Timor Timur, dan Dading berpulang ketika Timor Timur “lepas”.
Persahabatan Dengan Benny
Karier Dading sebagai komandan pasukan, mencapai puncaknya saat memimpin Operasi Flamboyan (1974), sebuah operasi tempur semi tertutup di Timor Leste, yang menjadi pendahulu dari Operasi Seroja. Di tengah palagan Operasi Seroja inilah, Dading dipromosikan sebagai brigadir jenderal. Sampai sekarang nama Dading masih dijadikan referensi perwira muda, sebagai model komandan tempur sejati di era Indonesia modern.
Dading bisa berangkat ke Timor Leste, atas perintah langsung sahabat lamanya, yaitu Benny Moerdani. Mereka sebenarnya sama-sama anggota tentara pelajar, namun beda kesatuan, Benny adalah anggota TP di Solo. Keduanya sempat jumpa di Solo, karena Dading menyelesaikan SMA-nya di Solo (SMA peralihan khusus pelajar pejuang). Keduanya bertemu kembali saat sama-sama masuk di P3AD (Pusat Pendidikan Perwira Angkatan Darat) di Bandung. Kebersamaan mereka terus berlanjut, sebab selepas dari P3AD, keduanya bergabung ke Korps Baret Merah (RPKAD). Tak berlebihan kiranya bila disebut Dading sebagai alter ego dari Benny.
Pada dasawarsa 1970-an, Benny adalah tokoh kunci intelijen, khususnya untuk operasi yang memerlukan pengerahan pasukan. Saat memerlukan orang yang tepat guna memimpin infiltrasi ke wilayah Timtim, Benny teringat pada sahabat lamanya, yakni Dading Kalbuadi. Berangkatlah Dading ke wilayah Timtim, yang saat itu masih masuk wilayah jajahan Portugal. Dalam operasi penyusupan ini, Dading banyak dibantu yuniornya di Baret Merah, seperti Yunus Yosfiah (Akmil 1965), Sofian Efendi (Akmil 1965), Theo Syafei (Akmil 1965), Sutiyoso (Akmil 1968), dan seterusnya.
Operasi penyusupan tersebut diberi nama sandi Operasi Flamboyan. Prestasi Dading dalam memimpin Operasi Flamboyan, kemudian dilanjutkan dengan Operasi Seroja (operasi militer terbuka), yang rasanya tidak perlu dibahas lagi disini, karena hal itu sudah banyak diketahui masyarakat. Dading baru ditarik dari palagan Timor Leste, setelah salah satu tim yang dia pimpin berhasil melumpuhkan Presiden Timor Leste “Merdeka” Nicolao Lobato. Dading selanjutnya diangkat sebagai Pangdam Udayana di Bali (1978-1983), dengan pangkat brigjen.
Pasukan Pelajar IMAM
Sebagaimana telah disinggung sekilas di atas, Dading Kalbuadi (lahir Cilacap, 14 April 1931) sudah terlibat pertempuran sejak belia, pada periode Perang Kemerdekaan (1946-1949), saat Dading sendiri masih duduk di bangku SMP Purwokerto. Dia tergabung dalam Pasukan Pelajar IMAM (akronim dari Indonesia Merdeka atau Mati), yang umumnya beranggotakan pelajar di Kota Purwokerto, ibukota eks Karesidenan Banyumas. Satuan ini resmi berdiri pada 20 Desember 1945, dengan supervisi dari Mayor Abimanyu, yang kebetulan saat itu adalah salah seorang guru di SMP Purwokerto. Abimanyu di kemudian hari sempat menjadi Panglima Divisi (Kodam) Siliwangi.
Satuan ini terbilang unik, karena Pasukan Pelajar IMAM secara komando terpisah dari Tentara Pelajar (TP) Jateng yang berpusat di Solo, di bawah pimpinan Mayor Achmadi. Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari semangat tradisi banyumasan, sebagai daerah “pinggiran” yang tidak selalu tunduk pada Solo dan Yogya, sebagai pusat kultur Mataraman. Aspirasi ini rupanya juga merembes di kalangan generasi mudanya, sehingga mereka membentuk pasukan pelajar secara mandiri, lepas dari bayang-bayang satuan TP (Solo).
Sementara di Purwokerto sendiri ada juga satuan TP yang berafiliasi ke TP Solo, yaitu Kompi 340 TP Purwokerto, yang didirikan menjelang Clash I (Juli 1947). Satuan ini lebih populer dengan sebutan Kompi Encung, karena komandannya bernama Letnan Encung Abdullah Sajadi. Encung sendiri sebelumnya adalah anggota dari Pasukan T Ronggolawe, yang bermarkas di Salatiga. Anggota Pasukan T Ronggolawe juga terdiri dari pelajar yang diasuh langsung oleh sesepuh TNI AD Kolonel GPH Djatikusumo. Salah seorang anggota Pasukan T (Tjadangan) Ronggolawe yang kemudian menjadi tokoh nasional adalah Sudharmono, SH (Wapres RI 1988-1993).
Pasca Perang Kemerdekaan, Dading Kalbuadi tetap melanjutkan karir sebagai tentara, dengan bergabung dalam Korps Baret Merah (Kopassus). Selama bergabung dalam RPKAD (nama terdahulu Kopassus), tidak ada operasi tempur yang tidak diikuti Dading. Mulai palagan menumpas DI/TII di Jawa Barat, operasi PRRI/Permesta di Sumbar, hingga Operasi Seroja di Timor Leste. Saat terlibat dalam operasi menumpas gerakan separatis PRRI di Muaralabuh (Sumbar), Dading hampir saja tewas, akibat lehernya terkena pecahan mortir.
Bersahaja dan Kharismatik
Pada penggal terakhir karier Dading Kalbuadi sebagai pejabat negara (Inspektur Jenderal Kementerian Pertahanan), Dading bersama rekan-rekannya sesama tentara pelajar Banyumas, mengambil inisiatif untuk mengadakan reuni dengan bekas musuh mereka dulu, yaitu mantan anggota Bataliyon Infanteri 425 Koninklijke Landmacht (Angkatan Darat Belanda). Reuni bersejarah ini diadakan di awal tahun 1991.
Acara puncak reuni berupa napak tilas di lokasi mereka dulu berhadap-hadapan, mulai dari wilayah Banyumas, Wonosobo, hingga berujung di Sapuran, yang sudah masuk Kabupaten Purworejo. Dari pihak eks tentara pelajar, selain Pasukan Pelajar IMAM, turut reuni pula mantan anggota Pasukan T Ronggolawe dan eks TP Purwokerto (Kompi Encung).
Resepsi malam penutupan diselenggarakan di rumah Dading Kalbuadi yang berhalaman luas, di KPAD (Komplek Perwira AD) Bulak Rantai, Jakarta Timur. Pada resepsi malam penutupan tersebut hadir pula Benny Moerdani, saat itu menjabat Menteri Pertahanan, jadi atasan langsung Dading.
Kalimat terakhir yang ingin saya sampaikan adalah, Dading adalah figur yang sangat kharismatik di antara sejumlah jenderal di Tanah Air. Tidak seperti perwira tinggi pada umumnya, yang cenderung bergaya hidup hedonis setelah masuk jajaran elite, tidak demikian dengan Dading, Dading Kalbuadi tetap hidup bersahaja, meski memiliki akses langsung pada kekuasaan, utamanya melalui Benny Moerdani. Dading tidak segera meninggalkan kegemaran lamanya, yaitu menikmati nasi bungkus. Kegemarannya menikmati nasi bungkus, merupakan refleksi perjalanan hidup Dading yang akrab dengan operasi tempur, dan selalu ingin dekat dengan anak buahnya.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.