Kisruh seputar TIM (Taman Ismail Marzuki) menjadi penanda, bahwa masyarakat mencitai TIM, dan tetap merindukan keberadaan tempat seperti TIM. Premis bisa dijadikan inspirasi untuk membangun ruang kesenian di Ibu Kota Negara (IKN) yang baru kelak, di wilayah Kaltim.
Tulisan budayawan Ashadi Siregar dengan tajuk “Mendamba Pusat Kesenian Nasional” (Kompas, 17/2/2020), sangat menarik untuk dicermati. Menurut Ashadi, kehadiran kompleks pusat kesenian berskala negara sudah mendesak, dan dapat dikerjakan di mana saja, tanpa perlu menunggu pemindahan IKN.
Pendapat Ashadi mewakili aspirasi jutaan warga Indonesia yang masih peduli pada keberadaan ruang atau tempat pengembangan kesenian seperti TIM. Ketimbang meributkan isu revitalisasi TIM yang tak selesai-selesai juga, bukankah kita lebih baik membangun saja tempat serupa, seperti kata Ashadi, di mana saja. Dengan kata lain, IKN baru bisa juga membangun tempat seperti TIM, sebagai penyeimbang status IKN, yang oleh Presiden Jokowi diimajinasikan sebagai smart city, karena mengedepankan sarana riset iptek.
Tanpa ruang kesenian, IKN atau pun tempat yang lain akan menjadi gersang, dan berdampak pada perilaku warganya. Kesenian adalah ukuran peradaban, bagaimana mungkin IKN tanpa ruang kesenian.
Gagasan pemindahan IKN kembali digulirkan Presiden Jokowi. Pemindahan ibu kota bukanlah sesuatu fenomena baru, banyak negara telah melakukannya, seperti Brasil, Pakistan, Nigeria, Jerman, dan baru-baru ini Israel. Bagi Indonesia sendiri, gagasan untuk memindahkan IKN, sudah dirintis oleh Presiden Soekarno, pada dekade 1950-an lalu, bahkan proyeksi lokasi juga sudah ditetapkan, yakni Palangkaraya (kini ibu kota Kalteng).
Sebagaimana Soekarno, Jokowi yang juga dikenal sebagai presiden visioner, ingin mewujudkan cita-cita lama pendahulunya tersebut. Semoga pada periode kedua pemeritahan Jokowi, pergerakan (progress) menuju ibu kota baru menemukan wujud konkretnya. Perpindahan ibu kota baru, selain cita-cita, juga sebuah momentum historis, bila tidak diwujudkan segera, entah kapan lagi datang kesempatan seperti ini. Sekarang atau tidak sama sekali.
Penulis ingin sedikit sumbang saran terhadap mega proyek rezim Jokowi tersebut, satu catatan penting, bahwa selain soal pembangunan infrastruktur, perlu juga dipikirkan “spirit” dari ibu kota yang baru nanti. Ibarat sebuah lukisan yang bagus, selain enak dipandang, idealnya lukisan juga berjiwa.
Ibu kota yang baru adalah harapan. Selain prima dalam mendukung administrasi pemerintahan, ibu kota juga merupakan etalase negeri. Kita berharap, keberadaan ibu kota baru juga meningkatkan martabat kita sebagai bangsa. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah membangun infrastruktur kesenian. Banyak rakyat kita kreatif di bidang kesenian, sehingga kita bisa melihat kota-kota seperti Jakarta, Bandung, Yogya, Solo, Surabaya, Jember, Banyuwangi, dan seterusnya, memiliki kantong-kantong kegiatan kesenian. Panggung kesenian menjadikan jiwa warga sebuah kota tidak “kering”.
Bisa jadi pembangunan infrastruktur kesenian bukan prioritas, namun hal itu jangan dilupakan. Salah satu problem masyarakat kita adalah jiwa yang kosong, sanubarinya kurang terlatih, sehingga tidak sensitif atas situasi lingkungan. Kekosongan jiwa itulah yang menjadi penyebab, masyarakat kita hanya sibuk memikirkan kekuasaan dan jabatan saja.
Ada hikmah yang bisa kita dapatkan, bila ibu kota baru benar-benar terwujud kelak, mengingat Jakarta hari ini sudah demikian sesak dan masalahnya sudah begitu menumpuk. Kita bisa menulis berlembar-lembar soal masalah di Jakarta, seperti kemacetan lalulintas tiada henti, penduduk yang berlebih, kesenjangan sosial kaya-miskin, soal ketersediaan air bersih, banjir rutin, dan seterusnya.
Benar, kita membutuhkan ibu kota baru, yang merupakan genuine karya anak bangsa sendiri, sementara Jakarta tetap memiliki posisi terhormat sebagai situs sejarah. Bahwa dari Jakarta pula, dimulai pergerakan nasional melawan kolonial, hingga mencapai puncaknya saat teks Proklamasi dibacakan oleh Soekarno dan Hatta.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.