Pada tahun 1995 saya diadili oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena tulisan saya di media alternatif “Kabar dari Pijar”. Tulisan mengutip Adnan Buyung Nasution, “Negeri ini telah dikacaukan oleh seorang bernama Soeharto” dianggap menghina presiden sesuai pasal 134 KUHP. Kabar dari Pijar adalah salah satu media alternatif yang muncul pasca-pembreidelan tiga media nasional Tempo, Detik, dan Editor pada Juni 1994. Selain awak Kabar dari Pijar, pengurus media alternatif Independen terbitan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga diadili karena dianggap menghina pemerintah.
Menurut tokoh pers nasional Atmakusumah, “Journalism advocacy biasanya menggunakan bahasa yang menyengat dan menggigit, atau keras. Mengapa mereka melakukan cara penyajian demikian. Penerbitan-penerbitan seperti itu meminta perhatian lebih, yang lebih mendalam dari pembacanya, mereka ingin melakukan perubahan-perubahan, mereka ingin meminta perhatian dari masyarakat pembacanya, kepada siapa saja, agar berusaha melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan misi mereka”.
Atmakusumah yang menjadi saksi ahli pada kasus saya menambahkan, “Journalism advocacy itu ingin menggugah hati pembacanya, ada maksud ingin perubahan atau penyadaran atau semacam warning, bahwa ada sesuatu yang harus diubah, semacam early warning (peringatan dini-red), supaya apa yang tertulis itu jangan terulang, jangan terus menerus begitu, seperti yang diinginkan oleh media seperti itu”.
Media alternatif semacam Kabar dari Pijar dan Independen bukanlah hoax. Kedua media alternatif ini dikerjakan dengan memenuhi standar minimal pers. Mempunyai reporter yang turun ke lapangan dan redaktur di newsroom. Independen bahkan para reporternya bekerja di media mainstream. Mereka sering menulis berita atau ulasan yang tak dimuat di medianya karena alasan takut ditegur Menteri Penerangan. Namun yang membuat media alternatif sedikit berbeda adalah alamat kantor yang kurang jelas. Biasanya menggunakan alamat surat PO Box. Hal ini karena sistem politik saat itu tak memungkinkan. Orde Baru yang otoriter membuat media alternatif bersiasat.
Sementara itu, per difinisi, hoax adalah menipu atau tipuan. Hoax adalah manipulasi berita yang sengaja dilakukan dan bertujuan untuk memberikan pengakuan atau pemahaman yang salah. Hoax yang disebarkan pada pilpres 2014 sangat deras yaitu informasi bohong bahwa Jokowi itu Kristen, atau PKI, atau keturunan Tionghoa, bahkan ada lima truk bukti untuk membatalkan kemenangan calon No. 2 (Jokowi). Pada 2016 lalu hoax antara lain Jokowi itu PKI dan ada 10 juta buruh Tiongkok di Indonedia.
Jika ada dosen filsafat dan para aktivis menyatakan hoax adalah bagian dari demokrasi maka bisa jadi cara pandang mereka tak berubah sejak Orde Baru. Mereka masih menganggap perjalanan 19 tahun transisi demokrasi tak ada arti. Mereka menutup mata justru kini era media bebas, pemerintah bahkan tiap hari bisa dikritik tanpa ada pembreidelan. Bahkan lembaga yang dulu hobi membreidel, Departemen Penerangan, telah dibreidel oleh Presiden Abdurrahman Wahid.
Hoax paling dahsyat diciptakan oleh Soeharto pasca pembunuhan para jenderal pada 1965. Pemerintah memproduksi hoax diawali dengan berita bohong Gerwani menyiksa para jenderal dengan memotong kemaluannya. Propaganda itu berakibat jutaan anggota PKI dan organisasi pendukungnya menjadi korban pembantaian massal dan terbesar dalam sejarah Indonesia. Kini pemerintah yang demokratis dan transparan kecil kemungkinan membuat hoax untuk kepentingan pemerintahannya.
Hoax jelas bukan demokrasi. Peneliti senior LSPP, Ignatius Haryanto mengatakan, “Hoax bukanlah bagian demokrasi dan hoax adalah suatu cedera bagi demokrasi. Jika kita percaya pada diktum kebebasan informasi, bahwa informasi adalah oksigen bagi demokrasi, hoax adalah hawa racun yang akan merusak demokrasi itu sendiri”.
Para aktivis media alternatif kini mati gaya. Pasalnya, media mainstream sudah kembali menjalankan perannya sebagai pilar keempat demokrasi selain eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Dengan kata lain, media alternatif seperti dulu tak dibutuhkan lagi. Media alternatif era Orde Baru berbeda dengan media hoax yang kini kian marak. Media alternatif berhadapan dengan pemerintah otoriter karena itu perlu bersiasat. Media hoax masa kini tak berhadapan dengan rezim otoriter, bahkan rezim ini menganut pers bebas.
Sekali lagi, media hoax yang memproduksi dan menyebarkan berita hoax adalah racun demokrasi. Ia dibuat dengan sengaja agar pemerintah yang demokratis ini cedera. Mereka tak memanfaatkan era kebebasan pers dengan membuat lembaga media resmi sesuai peraturan yang berlaku, namun sengaja berjalan di kegelapan meskipun zaman sudah terang benderang. Untuk menghindari kita teracuni hoax sangat mudah. Tak perlu merespon apalagi ikut menyebarkan hoax. Karena dengan menyebarkan hoax berarti kita telah tertular racun demokrasi.