Instruksi Presiden Joko Widodo saat Rapat Terbatas di Kantor Presiden Jakarta, Jumat 3/5/2019 terkait percepatan penyelesaian masalah pertanahan mendapat tanggapam positif berbagai pihak. Sebagaimana diketahui, Jokowi memerintahkan percepatan penyelesaian masalah pertanahan dan sengketa lahan di Indonesia, yang meliputi konflik rakyat dengan perusahaan swasta, perkebunan negara, ataupun dengan pemerintah, termasuk penertiban konsesi-konsesi yang bermasalah dengan rakyat
Tokoh Perbatasan Hermanus, berpandangan bahwa langkah dan keputusan bapak Presiden Joko Widodo tersebut merupakan bukti keberpihakan Presiden Joko Widodo terhadap rakyat atau warga negara. Pasalnya menurut pria yang akrab dipanggil Herman ini, di wilayah Kabupaten Nunukan provinsi Kalimantan Utara setidaknya ada beberapa lahan konsensi yang dikuasai oleh Perusahaan namun terdapat masyarakat tinggal didalam lahan konsensi tersebut.
“Saya rasa ini adalah keseriusan Presiden Jokowi dalam menjalankan Konsorsium Pembaruan Agraria,” ujar Herman kepada Pewarta, Minggu (5/5/2019).
Instruksi Presiden tersebut menurut Herman adalah angin segar bagi masyarakat di Perbatasan terutama yang saat ini bermasalah terkait kepemilikan lahan. Instruksi Presiden yang meminta segera diselesaikan secepat-cepatnya terkait pelepasan lahan, adalah hal dinanti masyarakat Kalimantan Utara selama ini.
“Tujuan utama Presiden sanggat solutif yakni agar rakyat memiliki kepastian hukum dan rasa keadilan atas hak tanah sebagai warga negara” imbuhnya.
Herman mencontohkan, ketumpamg tindihan kepemilikan lahan seperti izin Hak Pemanfaatan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) yang dikelola oleh PT. Adindo Hutani Lestari (AHL) yang beroperasi di Nunukan, Kalimantan Utara.
“Wilayah operadi PT.Adindo ada di 10 desa Kecamatan Sembakung, 10 desa di Kecamatan Sebuku, 8 Desa di Kecamatan Lumbis, 10 Desa di Kecamatan Sembakung Atulai, sebagian wilayah di Kecamatan Tulin Onsoi dan Kecamatan Seimangaris,” paparnya.
Herman menuturkan bahwa PT. Adindo Hutani Lestari mengantongi izin konsensi HPHTI di 6 kecamatan kabupaten Nunukan pada tahun 1992 yang hanya 2 kecamatan saat itu yakni kecamatan Sembakung dan Kecamatan Lumbis tatkala 2 Kecamatan tersebut masih bergabung dengan Kabupaten Bulungan.
Seiring lahirnya otonomi daerah tahun 1999 hingga sekarang ini, ungkap Herman, masyarakat yang ada di desa-desa di Kecamatan Sembakung, Lumbis, Sebuku, Sembakung Atulai, Tulin Onsoi dan Seimanggaris terjadi perubahan dan perkembangan pertumbuhan penduduk.
“Sehingga kebutuhan atas lahan lanah oleh masyarakat desa sangat tinggi baik itu untuk lahan pertanian dan perkebunan rakyat maupun untuk infrastruktur jalan, sarana prasarana desa dan fasilitas publik,” terang Herman.
Artinya , lanjut Herman, bahwa atas instruksi Presiden Joko Widodo terhadap “Percepatan Penyelesaian Pelepasan Lahan Pertanahan Rakyat Yang Sudah Lama Tinggal Di Lahan Yang Dikuasai Negara” waktunya sudah direalisasikan kepada rakyat di 6 kecamatan di kabupaten Nunukan tersebut.
Sebab menurut Herman, jika pelepasan lahan yang dikuasai oleh PT. Adindo Hutani Lestari di wilayah desa-desa di 6 kecamatan tersebut tidak dilakukan maka ini menghambat kecepatan pembangunan desa dan kesejahteraan masyarakat desa karena dengan adanya desa kepastian membangun desa dari dana desa (DD) & ADD tidak memiliki kepastian hukum sehingga implikasinya adalah ketidakadilan yang diterima rakyat atas izin HPHTI PT. Adindo Hutani Lestari tersebut.
“Saatnya diperlukan sinergi Pemerintah Daerah baik itu Pemerintah Desa, Pemerintah Kabupaten Nunukan dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara serta pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk menindaklanjuti instruksi Presiden tersebut,” tandas Politisi Partai NasDem tersebut
Senada dengan Herman, Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika melalui keterangan tertulisnya menyatakan bahwa KPA mengapresiasi hasil ratas dan perintah Jokowi tersebut Mereka juga berharap hal itu tak menguap. Dewi memaparkan, Menurut catatan KPA, sepanjang 2019 Jokowi telah beberapa kali memberikan instruksi serupa, yakni dalam ratas di bulan Februari dan Maret.
Namun, KPA menilai jajaran kementerian terkait seperti Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara justru menghindari langkah penyelesaian konflik agraria bersama rakyat.
“Mereka kembali pada kerja-kerja bussines as usual, di mana masalah konflik agraria dengan rakyat dipandang sebagai problem administrasi hukum semata, bukan sebagai problem keadilan sosial,” kata Dewi.
Lebih lanjut Dewi menyatakan bahwa KPA juga menilai komitmen ratas itu akan menguap jika para pimpinan daerah, yakni gubernur dan bupati tidak diperintahkan mengambil langkah yang sejalan dengan agenda reforma agraria ini.
Tuntutan penyelesaian konflik agraria selalu dinyatakan gerakan masyarakat sipil. KPA mencatat, satu dekade pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mewariskan konflik agraria yang dialami 926.700 kepala keluarga, disertai penangkapan 1.534 petani dan masyarakat adat di banyak tempat di Indonesia.
Warisan masalah itu, kata Dewi, menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Masyarakat luas utamanya petani, penggarap, buruh tani, dan masyarakat adat menanti penyelesaiannya. KPA menganggap pemerintahan Jokowi selama 4 tahun ini belum serius menyelesaikan konflik agraria. Sejak 2015-2018, KPA mencatat ada 1.769 kejadian konflik agraria di seluruh provinsi.
“Para menteri terkait enggan menyentuh wilayah-wilayah konflik agraria yang bersifat struktural untuk diselesaikan dalam kerangka reforma agraria,” ucap Dewi.
Sehingga dengan instruksi Presiden dalam Ratas tersebut, Dewi meyakini bahwa Presiden Jokowi telah memerintahkan para Menteri terkait untuk membuka data konsesi-konsesi perusahaan yang telah menyebabkan ketimpangan dan konflik agraria serta merugikan dan melanggar hak-hak masyarakat.
“Data-data konsesi yang dimaksud itu mencakup Hak Guna Usaha, Hak Tanaman Industri, Hak Guna Bangunan, Perhutani, Inhutani, dan izin tambang,” ujar Dewi.
Menurut Dewi, Presiden juga meminta segera overlay data-data konsesi tersebut dengan data-data wilayah hidup rakyat yang telah dilaporkan dan diusulkan berulang kali kepada pemerintah pusat dan daerah untuk diselesaikan dalam kerangka reforma agraria.
“Dengan begitu, Presiden dapat mengganti acara-acara penyerahan sertifikat melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dengan acara pelepasan dan pengeluaran kawasan desa-desa, kampung-kampung, sawah, kebun masyarakat, ladang penggembalaan, tambak, fasilitas umum, dan fasilitas sosial masyarakat dari klaim tanah atau hutan negara, HGU, dan konsesi lainnya,” kata Dewi.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.