BOGOR – Setelah sempat menginap didepan Kantor Pemkab Bogor, puluhan pengunjuk rasa yang tergabung dalam Paguyuban Petani Ikan Kolam Air Deras Kecamatan Pamijahan (PPIKADP) akhirnya membubarkan diri Kamis (6/4/2017). Pemkab Bogor didemo selama dua hari satu malam oleh Paguyuban Petani Ikan Kolam Air Deras, yang menuntut ganti rugi atas kerusakan yang ditimbulkan oleh pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTM).
Aksi demo damai jilid tiga tersebut digelar untuk menuntut kejelasan ganti rugi Rp6.2 miliar atas kerusakan yang diakibatkan oleh pelaksanaan pekerjaan phisik kegiatan proyek perusahaan PLTM. Demo itu tidak membuahkan hasil karena Pemkab Bogor tidak memberi jawaban terkait tuntutan para pendemo.
“Setelah dua hari kita menggelar aksi selama dua hari, hari ini kita sudahi karena akan menyiapkan aksi selanjutnya yang lebih besar,” tukas koordinator aksi, Ali Taufan Vinaya saat diwawancarai indeksberita.com.
Dia mengatakan, sangat kecewa dengan Pemkab Bogor karena tuntutannya tidak direalisasikan bupati. Saat ini, sebutnya, ada 53 petani ikan yang tidak lagi mendapatkan penghasilan karena ikannya mati akibat dampak longsor sebuah proyek di wilayahnya.
“Warga, sebelumnya sudah menyampaikan protes kepada perusahaan, termasuk ketua DPRD Kabupaten Bogor telah mengeluarkan surat rekomendasi kepada Bupati Bogor agar segera dibentuk tim investigasi kasus itu. Tapi, hingga saat ini bupati masih terkesan enggan mendengar aspirasi warga. Terbukti, sampai saat ini pemkab tidak berpihak kepada para petani ikan, sudah 16 bulan warga dibiarkan telantar,” imbuhnya.
Penuturannya, pembanguna PLTM sendiri yang seharusnya meminimalisir kerusakan, justru malah menimbulkan kerusakan. Semua diakibatkan oleh material galian Whaterway kerap dibuang ke aliran sungai Cianten, yang berdampak banjir lumpur dikala hujan turun.
Diduga dalam pelaksanaan pembangunan proyek prusahaan pembangkit listrik tenaga menihidro (PLTM), pada aliran sungai Ciaten DAS Cisadane, milik PT. Jaya Dinamika Geoenergi menyalahi aturan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
“Kita meyakini bahwa hal tersebut bertentangan dengan UUD nomor 32 tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu, kita prihatin lemahnya pengawasan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor, sebagaimana yang tertuang dalam surat rekomendasi UPL atau UKL yang sudah dikeluarkan,” tutupnya.