Rabu, 22 Maret 23

Makna Strategis Staf Khusus Menhan

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto telah mengangkat lima orang sebagai asisten khusus periode 2019-2024. Staf khusus Menhan tersebut adalah: Letjen TNI (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin (Akmil 1974), Letjen TNI (Purn) Hotmangaradja Pandjaitan (Akmil 1977), Laksdya TNI (Purn) Didit Herdiawan (AAL 1984), Mayjen TNI (Purn) Chairawan Kadarsyah (Akmil 1980), dan Marsda TNI (Purn) Bonar H Hutagaol (AAU 1984).

Selain lima purnawirawan pati di atas, Prabowo juga telah merekrut sekutu setianya, yakni Letjen (Purn) Johannes Suryo Prabowo (lulusan terbaik Akmil 1976) ke Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP). Nama-nama seperti Sjafrie, Chairawan, dan J Suryo Prabowo, tentu kita sudah paham soal hubunganya dengan Prabowo, yang merupakan sekutu lama Prabowo sejak lama. Masuknya tiga nama terakhit ini selalu dimaknai secara politis, karena memang sudah sejak lama dikenal dekat Prabowo.

Sjafrie dikenal dekat dengan Soeharto, utamanya ketika menjadi Dandenwalpri (Komandan Detasemen Kawal Pribadi), dan Grup A Paspampres. Sehingga publik bisa mahfum ketika kariernya demikian cepat di masa Orde Baru. Begitulah karier seorang perwira, bila dekat dengan kekuasaan, promosi bagi dirinya relatif lebih cepat dibanding rekan segenerasinya. Demikian juga yang terjadi pada Prabowo.

Sehingga di masa itu, antara Prabowo dan Sjafrie seolah ada ikatan khusus, dan publik paham soal itu. Namun karena dinamika politik pasca-Orde Baru, membuat Sjafrie sempat “menjauh” dari Prabowo, dan kompromi dengan Wiranto, dan kini kembali lagi bersekutu. Sementara nama-nama seperti Hotmangaradja, Didit, dan Bonar, masih harus ditelusuri lebih dahulu, agar kita sedikit memiliki pemahaman, mengapa tiga nama terakhir ini masuk dalam lingkaran Prabowo (selaku Menhan).

Hotmangaradja adalah putera dari pahlawan revolusi (DI Panjaitan), yang merupakan yunior Prabowo di Kopassus, lebih khusus lagi pada Detesemen 81 Anti Teror (kini Satgultor 81). Jabatan penting terakhir Hotmangaradja di Kopassus adalah sebagai Komandan Grup 3/Sandi Yudha, kemudian posisi terakhir di pemerintahan adalah sebagai Sekretaris Menkopolhukam, ketika posisi Menkopolhukam masih dijabat Djoko Suyanto (2009-2014). Di masa pemerintahan Jokowi ini kemudian dipercaya sebagai Dubes di Perancis.

Kemudian Didit Herdiawan mulai dikenal publik saat diangkat sebagai ADC (Ajudan) Presiden SBY pada periode pertama pemerintahannya (2004-2009), bersamaan dengan 3 kolonel lainnya: Munir (Letjen Purn pensiun), Bagus Puruhito (kini Kepala Basarnas), dan Putut Bayuseno (terakhir Irwasum Mabes Polri). Sebagaimana kita tahu, keempat ajudan tersebut, semuanya “gagal” sebagai kepala staf atau Kapolri, mengingat periode SBY kedua (2009-214) sudah berakhir. Jabatan terakhir Didit adalah Kasum TNI dan Irjen Kemenhan.

Dengan informasi singkat tersebut, kita bisa membaca bahwa Prabowo sedang membangun aliansi dengan perwira lingkaran SBY. Baik Hotma maupun Didit, adalah perwira yang berkualitas, oleh karenanya dipercaya oleh SBY. Prabowo sedang mencari “balancing”, salah satunya agar rezim Jokowi tidak terlalu dikuasai lingkaran Luhut Panjaitan dan Hendro Priyono. Sehingga langkah Prabowo dalam konsolidasi menarik untuk diikuti.

Tiga nama dengan kompetensi masing-masing, yakni Hotmangaraja, Didit dan Bonar, akan bersinergi dengan Sjafrie dan Chairawan, dua sekutu lama Prabowo, yang selalu dibaca dalam perspektif politik. Bonar misalnya, selama ini dikenal sebagai teknokrat matra udara, sehingga diharapkan bisa memberi masukan pada Menhan terkait akuisisi alutsista matra udara.

Dihubungkan dengan situasi mutakhir, terkait ketegangan di Laut Natuna Utara, rekomendasi dari Didit sangat diharapkan. Mengingat salah satu problem kita adalah soal akuisisi kapal selam. TNI AL terbilang minim dalam pengadaan alutsista yang sangat menentukan itu. Tentu saja China paham betul, bila TNI AL terbatas dalam pemilikan kapal selam, sehingga begitu leluasa melakukan tekanan. Kini adalah era informasi terbuka, sehingga konfigurasi alutsista masing-masing negara, informasinya bisa diakses bagi pihak yang berkepentingan.

Pada akhirnya kita bisa mengerti, bahwa langkah Prabowo tidak harus selalu dimaknai secara politis. Terlebih dia memegang Kementerian Pertahanan, sebuah kementerian yang tidak terlalu politis sebenarnya, karena lebih banyak berhubungan dengan pihak luar. Dengan asumsi, keamanan dalam negeri sudah bisa diatasi oleh Polri. Kita percaya pada kapasitas dan kompetensi staf khusus Menhan, bahwa posisi mereka memang lebih menekankan pada aspek strategis.

 

Penulis : Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer (khususnya TNI AD). Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu
Penulis : Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer (khususnya TNI AD). Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu

- Advertisement -
Berita Terbaru
Berita Terkait