Masyarakat Literasi Yogyakarta (MLY) hari (17/5) di LBH Yogyakarta menyerukan “Maklumat Buku Jogja”. Bertepatan dengan Hari Buku Nasional, MLY menganggap pemberangusan untuk membungkam pandangan yang berbeda dalam muatan atau isi buku justru bertentangan dengan semangat Pancasila.
MLY terdiri dari penerbit, lembaga percetakan, toko buku, pelapak online, asosiasi buku, pembaca, pegiat media komunitas dan literasi, perupa, media independen, dan organisasi kemahasiswaan. Individu pecinta buku seperti Garin Nugroho, Alissa Wahid, St. Sunardi, Sindhunata, Katrin Bandel, Ong Harry Wahyu, Tri Agus Susanto, dan Zaenal Bagir menyatakan buku adalah ruang pengetahuan yang demokratis sehingga penyeragaman pandangan melalui pelarangan buku merupakan cara yang tidak demokratis.
Bagi MLY, pemberangusan buku akhir-akhir ini di berbagai kota adalah tindakan yang tidak perlu terjadi di dalam masyarakat terbuka dan demokratis seperti saat ini. Apalagi, di tengah menguatnya usaha pemerintah yang bekerja sama dengan pegiat literasi mengampanyekan Indonesia untuk memperkuat kultur membaca, peristiwa ini menjadi semacam anakronisme.
Menyikapi situasi terkini yang menekan dan meresahkan, MLY menyampaikan 7 (tujuh) maklumat.
SATU. Kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat di hadapan orang banyak lewat berbagai media, termasuk persamuan seni-budaya dan penerbitan buku, adalah amanat Reformasi dan Konstitusi yang mesti dijaga dan dirawat bersama dalam kerangka kebhinnekaan sebagai bangsa.
DUA. Setiap perselisihan pendapat atas pikiran yang berbeda hendaknya diselesaikan dengan jalan dialog dan/atau mimbar-mimbar perdebatan untuk memperkaya khasanah pengetahuan dan keilmuan.
TIGA. Segala bentuk pelarangan atas penerbitan buku dan produk-produk akal budi seyogyanya dilakukan pihak-pihak yang berwewenang atas seizin pengadilan sebagaimana diatur oleh hukum perundangan yang berlaku dengan mengedepankan aspek penghormatan pada hak asasi manusia, demokrasi, dan keadilan. Prosedur hukum yang dimaksud salah satunya seperti termaktub dalam Surat Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Pelarangan Buku Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010.
EMPAT. Mendesak kepada lembaga Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) untuk membuka secara bebas arsip-arsip negara yang terkait dengan tragedi 1965 dan pelanggaran HAM berat lainnya sebagai bagian dari upaya kita belajar dan memperkaya khasanah pengetahuan kesejarahan.
LIMA. Mendorong pemerintah, baik pusat dan daerah, menciptakan iklim perbukuan yang sehat, kompetitif, dan memberi perlindungan pada kerja penerbitan, diskusi buku, dan gerakan literasi yang inovatif sebagaimana diamanatkan preambule UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
ENAM. Asas, kerja umum, dan kegiatan harian ekosistem perbukuan membutuhkan aturan main yang jelas dan mengikat semua ekosistem yang bernaung di dalamnya. Oleh karena itu, mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk menggodok dan segera mengesahkan UU Sistem Perbukuan Nasional yang demokratis.
TUJUH. Mendesak Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) sebagai salah satu dari asosiasi penerbit buku yang menjadi mitra pemerintah dan sudah berpengalaman dalam sejarah panjang perbukuan nasional senantiasa mengambil peran yang signifikan dan aktif-responsif untuk membangun komunikasi yang sehat dengan elemen-elemen masyarakat yang plural.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.