Luhut Binsar Panjaitan, secara tegas sudah menyatakan akan pasang badan bagi Arcandra Tahar sebagai Menteri ESDM. Luhut juga melihat ada pihak-pihak tertentu yang mencoba mempengaruhi kebijakan pemerintah di sektor ESDM, yang bisa memperlambat kinerja. Bahkan secara tegas Luhut menyatakan bahwa dia akan membuldozer pihak tersebut jika terus mengganggu.
Pernyataan Luhut tersebut secara jelas bisa diartikan dalam dua hal, pertama, dia peduli pada sektor ESDM yang pada saat itu berada dalam kordinasinya (saat ini dibawahinya secara langsung). Kedua, Luhut ingin mengamankan posisi Arcandra Tahar dan tentunya Presiden Joko Widodo, yang telah mengangkat Arcandra. Karena pada saat itu Arcandra mulai dipertanyakan publik tentang latar belakangnya, sampai kemudian digugat status kewarganegaraannya.
Arcandra lulusan ITB tahun 1994, meraih gelar master (1996 – 1998) serta. doktor (1998 – 2001). Dia juga merupakan Presiden dari Petroneering, perusahaan konsultan pengeboran minyak lepas pantai di Houston-Texas. Seperti kata Elwin Tobing Ph.D, seorang WNI yang bekerja di California, Arcandra terkesan cukup misterius dalam pekerjaannya di “Texas” dengan pendapatan terbaca publik yang relatif kecil nominalnya.
Penghasilan Petroneering di tahun 2013 hanya USD 88.000 atau sekitar Rp 1,1 miliar/tahun atau kurang dari Rp.100 juta/bulan. Agak aneh nilai bisnis sebesar itu memiliki klien yang banyak. Jadi kalau boleh saya simpulkan, Arcandra sebagai konsultan perminyakan masih tergolong “junior”. Jauh di bawah dari apa yang didengungkan oleh mereka yang membesar-besarkannya.
Tetapi siapakah yang menggadang-gadang Arcandra ke presiden, sehingga presiden memilihnya sebagai Menteri? Dan apakah presiden diberikan informasi yang cukup mengenai segala hal tentang Arcandra? Dan pertanyaan pentingnya, setelah status dwi kewarganegaraannya terungkap (yang tentu tidak diungkap status tersebut saat awal diperkenalkan ke presiden), dan kemudian yang bersangkutan dicopot, mengapa kemudian ada wacana baru mau diangkat kembali? Apa di Indonesia, tidak ada orang lain yang bisa membersihkan mafia di sektor ESDM, selain Arcandra ?
Melihat pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya teringat pada Rudi Rubiandini, saat menjadi ketua SKK Migas. Rudi lulusan Teknik Perminyakan ITB tahun 1985 dan lulus tingkat doktoral dengan gelar Dr. Ing. dari Technische Universitat Clauthsal Jerman tahun 1991. Rudi pernah menjadi dosen teladan di ITB.
Jam terbangnya sebagai pakar migas sangat tinggi, sebagai konsultan dan trainer dengan peserta dari berbagai industri migas naaional dan internasional. Rudi sangat dihormati oleh Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia, berkat ciptaannya beberapa peralatan penelitian baru, karya ilmiah yang dipakai dan menjadi rujukan komunitas ESDM nasional dan internasional.
Prestasinya sebagai wakil menteri ESDM dan ketua SKK Migas juga cermelang. Rudi berhasil melakukan pembenahan struktur organisasi SKK Migas dan menerapkan Good Governance. Lifting minyak bumi yang sempat jatuh di bawah 800.000 bph terangkat ke 832.000 bph.
Sebelum tertangkap tangan KPK, Rudi dikenal memiliki integritas. Bahkan dia pernah melaporkan upaya orang-orang yang mau menyuapnya. Tapi mengapa sosok dengan reputasi dan memiliki integritas seperti itu kemudian bisa masuk dalam jebakan korupsi? Begitu kuatkah pengaruh mafia migas dan begitu lemahkah sistem kita dalam menghadapi mereka?
Kemampuan dan jam terbang sebagai pakar dan konsultan internasional seperti Rudi Rubiandini saja, masih bisa dikalahkan oleh mafia migas. Bagaimana dengan Arcandra? Yang di awal pengangkatannya saja, sudah ada ketidakjujuran, baik dari yang bersangkutan maupun dari yang mengadang-gadangnya.
Akhirnya pernyataan luhut menjadi tepat, jika yang dibuldozer adalah para mafia migasnya, bukan mereka yang kritis menyikapi dwi kewarganegaraan Arcandra.
Lim Mei Ming, penulis lepas, anggota Serikat Hijau Indonesia
Rubi ditangkap tangan KPK kok. Dia bagi-hagi uang untuk politisi Partai Demokrat, sebagai balas jasa karena diangkat menteri oleh Sby tuh
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.