BOGOR – Tidak digubrisnya protes banyak kalangan saat sepekan masa sanggah yang lalu dan dimuluskannya PT Tirta Dhea Addonic Pratama (TDAP) sebagai pemenang lelang proyek pembangunan Gedung DPRD Kota Bogor Rp 72,7 miliar diprotes sejumlah pihak.
Desakan agar Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor melalui Unit Layanan Pengadaan (ULP) harus bertanggungjawab jika di kemudian hari terjadi hal yang tak diinginkan, mulai mengencang disuarakan. Pasalnya, sejumlah kios pedagang serta klinik yang berada di lokasi pembangunan di Jalan Pemuda, Tanahsareal, Kota Bogor masih belum memiliki kepastian akan direlokasi ke mana.
Tidak hanya itu, perusahaan pemenang lelang pun disinyalir pernah masuk daftar hitam (black list). Bahkan, informasi yang diperoleh media online ini, lokasi pembangunan gedung dewan setinggi 6 lantai dengan luas 13.540 meter, disebut-sebut belum bersertifikat.
Ketua Forum Pemerhati Jasa Konstruksi (FPJK) Kota Bogor Thoriq Nasution menilai bahwa proses lelang Gedung DPRD Kota Bogor cacat hukum.
“Meski menawar dengan harga cukup rendah, yakni Rp 69,7 miliar dari nilai Rp 72,7 miliar. Rekam jejak PT TDAP sebagai pemenang lelang ternyata tidak baik. PT TDAP sudah masuk daftar hitam LKPP sejak 2014 lalu,” tukasnya saat diwawancarai indeksberita.com, Selasa (11/10/2016).
Masih menurutnya, jejak rekam tersebut disebabkan kegagalan pembangunan lanjutan Masjid Raya Baitul Makmur (MRBM) tahun 2015 di Kota Kotamobagu, Provinsi Sulawesi Utara. Juga, adanya usulan dari ketua DPRD Klaten untuk memasukkan perusahaan tersebut dalam daftar hitam karena kegagalan pada pembangunan menara Mesjid Al Aqsa Klaten.
Ia pun mengimbau, ULP Kota Bogor wajib memperhatikan dan menjadikan pertimbangan terkait daftar hitam tersebut, agar pelaksanaan proyek gedung wakil rakyat yang menghabiskan Rp 72,7 miliar itu tidak sia-sia.
“Kami menyarankan konsultan manajemen konstruksi beserta dinas terkait untuk lebih ekstra ketat dalam melakukan pengawasan proses lelang ini,” ujarnya.
Hal lain, sambungnya, ULP disebutnya tak melengkapi Berita Acara Evaluasi Penawaran (BAEP) dan Berita Acara Hasil Pelelangan (BAHP) dalam postingan pelelangan gedung senilai Rp72 miliar itu. Padahal, itu jelas-jelas sebagai salah satu syarat yang sesuai Perpres Nomor 54 dan 70, termasuk petunjuk teknis dan dalam Perda Nomor 18/2012 tentang e-tendering.
“Dalam aturan itu, sambungnya, memang tidak disebutkan kewajiban meng-upload BAHP. Namun dengan tidak di-upload-nya BAHP sudah jelas melanggar prinsip pengadaan pada Pasal 5 yang menyebutkan prinsip transparan, yaitu informasi mengenai pengadaan bersifat jelas dan dapat diketahui penyedia barang dan jasa,” kata Thoriq.
Ia pun menambahkan, pemenang yang ditetapkan ULP itupun tidak sah dan tak dapat melanjutkan ketahap prosres pembangunan.
“Dari hasil pengecekan memang ULP tidak mengupload BAEP dan BAHP tersebut. Jadi proses lelang gedung DPRD ini harus dikaji ulang dan lelang gagal,” ujarnya.
Sementara, Anggota Komisi C DPRD Kota Bogor, Atty Somadikarya mengatakan, jika memang adanya informasi terkait rekam jejak buruk pemenang tender, ULP Kota Bogor perlu mempertimbangkan kembali.
“Jika memang benar pemenang lelang itu, memiliki rekam jejak yang kurang baik. Harusnya dijadikan bahan pertimbangan bagi ULP dalam memutuskan pemenang, jika dipaksakan terus, maka proses lelang ini patut dipertanyakan,” tuntasnya. (eko)