Jakarta – Pembebasan 10 WNI yang disandera kelompok Abu Sayyaf di wilayah Filipina Selatan sejak 26 Maret 2016, mendapat apresiasi dari anggota Komisi I DPR RI, Darizal Basir. Dalam rilis persnya, Senin (2/5), Darizal secara khusus mengapresiasi keberhasilan tiga institusi Negara yakni Kementerian Luar Negeri, Badan Intelejen Negara (BIN) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Menurutnya, pembebasan ini merupakan hasil dari koordinasi dan kerjasama banyak pihak di Indonesia maupun Filipina.
“Komisi I meletakkan perlindungan WNI di luar negeri sebagai salah satu prioritas program kerja Kemlu. Dalam kasus ini, Kemlu telah bekerja optimal dengan cara terus menerus secara intensif melakukan diplomasi dan negosiasi dengan seluruh stakeholders,” paparnya.
Darizal menilai, pembebasan WNI yang disandera merupakan hasil upaya intensif tiga institusi pemerintah. Kemenlu berdiplomasi, BIN menelusuri dan mencari data penting, dan TNI memberi efek gentar kepada penyandera.
Legislator dari Fraksi Partai Demokrat ini lebih lanjut mengatakan, Intelejen Indonesia berperan sangat penting, karena informasi yang disampaikan sangat bermanfaat bagi Kemlu. Menurutnya, petunjuk tersebut menjadi amunisi dalam diplomasi.
Sementara, kesiagaan TNI semakin memperkuat peran-peran diplomasi yang dilaksanakan oleh Kemlu. TNI memberi efek gentar bagi penyandera WNI.
“Mereka tentu akan berpikir ulang kalau hendak mengeksekusi para sandera WNI,” ujarnya.
Terkait upaya pemerintah yang tidak langsung mengerahkan pasukan TNI seperti ketika terjadi penyanderaan WNI di Somalia, Darizal menjelaskan bahwa antara Somalia dan Filipina merupakan dua negara dengan kondisi yang berbeda.
“Somalia saat itu dapat dikelompokkan sebagai failed state atau negara gagal. Administrasi dan pemerintahannya tidak mampu mengendalikan keamanan internal sehingga tidak bisa diandalkan,” ujarnya.
Sedangkan untuk kasus Filipina, situasinya berbeda. Selain bukan termasuk Negara gagal, Filipina juga tidak mengijinkan adanya opsi militer oleh Indonesia. “Sebagai sesama negara ASEAN yang sangat menjunjung tinggi kedaulatan masing-masing negara, Indonesia menghormati keputusan Filipina tersebut,” paparnya.
Menurutnya, saat pembebasan sandera di Somalia pemerintah Indonesia juga melakukannya secara hati-hati agar tidak mengganggu kedaulatan negara lain.
“Walau dianggap negara gagal, kita tetap menghargai kedaulatan Somalia dan Hukum Internasional, sehingga komunikasi dengan Kemlu Somalia dan Sekjen PBB juga dilakukan intensif,” katanya.
Sebagaimana diketahui, 10 WNI yang disandera tersebut adalah anak buah kapal (ABK) dari kapal Brahma 12 yang sedang menarik kapal tongkang Anand 12 yang berisi 7.000 ton batubara. Saat melintasi perairan Filipina, kapal mereka disergap oleh kelompok bersenjata yang berafiliasi dengan Abu Sayyaf. Penyandera kemudian meminta tebusan sebesar 50 juta Peso atau setara dengan 1 juta dollar AS.
Saat ini, masih ada empat WNI lain yang masih disandera oleh kelompok yang juga berafiliasi dengan Abu Sayyaf. Mereka adalah ABK kapal Henri yang menarik kapal tongkang Christi dan kemudian disergap pada 15 April 2016 lalu.