Membaca survey LSI menarik untuk dicermati. Saya tidak ragu dengan data-data kuantitatif yang disajikan. Saya pun tidak ragu atas hasil yang menunjukan adanya penurunan elektabilitas kandidat petahana, karena didapat dari survey yang mengikuti metode ilmiah. Tetapi untuk analisanya, tentu bisa diperdebatkan, karena sangat tergantung dari perspektif penelitinya dalam melihat data-data obyektif yang disajikan. Dan saya coba mengulas dan mengkritisi analisa dari data/temuan yang diperoleh dari survey tersebut.
Fakta bahwa pemilih beragama Islam jumlahnya 85%, tentu menjadi bidikan semua pasangan calon. Karena semua membidiknya, tentu pemilih ini akan tersebar di 3 pasangan calon. Jika rationya sama, maka masing-masing akan memperoleh 33.35% pemilih yang beragama Islam. Hasil survey LSI menyatakan bahwa dukungan Ahok dari pemilih muslim menurun, menjadi dibawah 35%. Sebenarnya dari angka tersebut, walaupun ada penurunan, tetapi bukan lah hal yang istimewa, masih tetap diatas sebaran rata-rata pemilih muslim di ketiga pasangan (33.35%).
Jika jumlah pemilih muslim yang mendukung Ahok yang jumlahnya dibawah 35% tadi (katakanlah 34%), dibandingkan dengan jumlah keseluruhan pemilih Ahok, maka pemilih Ahok yang muslim ada 91%, dan hanya 9% yang non muslim. Angka 91% didapat dari:
(34% x 85%)/31,4% =91%
34% : % Pemilih Muslim yang memilih Ahok
85% : % Pemilih Muslim dari total pemilih
31,4% : Elektabilitas Ahok saat ini
Jika disampaikan bahwa: 91% pemilih Ahok adalah Muslim dan hanya 9% yang non muslim, maka persepsi kalimat itu akan berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Denny JA dalam releasenya, yang menyatakan bahwa pemilih muslim yang mendukung Ahok jumlahnya dibawah 35%. Walaupun ke dua angka itu di ambil dari data yang sama.
Berbeda cara penyampaian dalam melihat data yang sama, maka akan berbeda pula persepsi publik yang menerimanya. Entah mengapa Denny JA memilih sudut pandang yang implikasinya bisa membuat mereka yang selama ini menggunakan sentimen perbedaan agama, merasa bahwa cara mereka berhasil. Padahal belum tentu cara itu sebagai penyebabnya.
Dengan memperlihatkan bahwa 91% pemilih Ahok adalah beragama Islam, padahal tekanan-tekanan terhadap Ahok dengan isue agama sudah sangat besar, hal ini menunjukan semua upaya menggesekan perbedaan agama yang selama ini dimainkan, tidak berhasil.
Saya juga ingin menkritisi pernyataan Denny JA atas temuan surveynya (LSI), yang menyatakan bahwa jumlah pemilih muslim yang tidak menginginkan gubernur non muslim, jumlahnya meningkat sebesar 15% (dari sebelumnya 40% menjadi 55%). Jika dibandingkan dengan total pemilih, maka peningkatan jumlah pemilih yang tidak menginginkan gubernur non muslim besarnya 12.75% (15% x 85%).
Bagaimana jika angka tersebut kita bandingkan dengan total penurunan elektabilitas Ahok yang besarnya 27.9% (dari 59.3% menjadi 31.4%) ?
Persentase kenaikan pemilih yang tidak menginginkan gubernur non muslim jumlahnya meningkat 12,75%, total penurunan elektabilitas Ahok 27.9%, maka ada 15.15% pemilih yang berubah pilihan tidak memilih Ahok lagi karena sebab lain (tidak mempersoalkan agama). Jadi jelas penurunan elektabilitas Ahok lebih banyak disebabkan oleh masalah diluar perbedaan agama dibandingkan dengan kenaikan jumlah pemilih yang mempersoalkan agama (15.5% banding 12.75%).
Hasil survey LSI pertama di bulan Februari 2016, dukungan pemilih muslim terhadap Ahok mencapai 55%. Dan dalam sejarah pemilu selama ini, sejak tahun 1950 sampai sekarang, partai-partai sekuler perolehan suaranya lebih besar dibandingkan dengan partai-partai berbasis agama. Itu fakta yang terjadi.
Jadi mengapa tingkat keterpilihan Ahok menurun tajam dalam 6 bulan terakhir, dari 59.3% menjadi 31.4% ?
Sederhana saja, kepastian penantang Ahok saat itu belum ada, dan bakal calon yang beredar tidak menunjukan kualitas yang sejajar dengan Ahok. Sedangkan saat ini, pasangan calon penantang Ahok sudah pasti (Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono), dan kualitasnya juga baik. Sehingga jumlah pemilih pun, terutama yang mayoritas muslim, lebih terdistribusi ke tiga calon yang ada.
Penurunan elektabilitas Ahok juga disebabkan oleh “kelakuan” Ahok dan sikap pendukungnya. Komunikasi politik Ahok memang jelek, dan sering anti kritik. Sedangkan pendukung Ahok sering dipandang arogan dan sering mencari musuh.
Hal lainnya, Ahok juga dianggap memiliki kebijakan yang tidak adil. Kedua hal tersebut (komunikasi politik dan kebijakan yang tidak adil) sebenarnya juga menjadi temuan survey LSI.
Jika kemudian dalam analisanya Denny/LSI menyatakan bahwa blunder Ahok dalam mengutip surat Almaidah, dan himbauan Ma’ruf Amin agar tak memilih pemimpin non muslim, akan menurunkan lagi elektabilitas Ahok kedepannya, tentu ini harus diuji lagi lewat survey kedepannya. Mengingat kedua hal tersebut terjadi setelah survey dilakukan.