Penangkapan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Muhammad Romahurmuziy oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hanya satu bulan jelang pemilu telah mengejutkan banyak pihak. Jika perilaku koruptif terus berkembang, dikhawatirkan akan membentuk masyarakat yang apatis terhadap politik dan pemilihan umum, yang notabene penentu masa depan bangsa. Jika hal tersebut terjadi, maka tak berlebihan jika dikatakan : korupsi telah membajak demokrasi di Indomeaia
Rommy, panggilan pria kelahiran Sleman, 10 September 1974. Bukan pemimpin partai politik pertama, bahkan bukan bos PPP pertama, yang tersangkut praktik pidana korupsi. Sebelumnya, praktik-praktik ini, juga dilakukan oleh pemimpim partai politik lainnya. Ada empat ketua umum partai politik yang ditangkap KPK, yaitu pemimpin Partai Demokrat Anas Urbaningrum, mantan pemimpin Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq, mantan pemimpin PPP Suryadharma Ali, dan mantan pemimpin Partai Golkar Setya Novanto.
Rommy yang memimpin PPP, terpilih melalui Muktamar VIII untuk periode 2014-2019 di Surabaya. Ia menggantikan Suryadharma Ali, setelah penetapan tersangka oleh KPK yang terjadi di tahun 2014. Rommy dituduh oleh KPK, telah menerima suap berupa uang untuk promosi jabatan di Kementerian Agama, -kementerian yang telah lama dianggap paling korup. Dan lembaga itu kini dipimpin oleh petinggi PPP, Lukman Hakim Saifuddin.
Skala korupsi kasus Rommy tidak ada artinya jika dibandingkan dengan Anas dan Setya, yang dihukum karena mencurangi proyek-proyek pemerintah senilai jutaan dolar. Rommy telah dituduh menerima suap Rp 300 juta atau sekitar US $ 21.045.a
Dia diduga menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri. Skandal ini praktis mengakhiri karir politik Rommy. Sekaligus memposisikan partai Islam menjadi lebih terpuruk. Hal ini tentunya sangat berdampak dan cukup berbahaya pada pemilihan umum yang tinggal satu bulan lagi.
Ini adalah kisah klasik tokoh politik Indonesia yang sedang naik daun, yang kemudian jatuh karena korupsi. Akar penyebabnya terlalu bernapsu untuk memperkaya diri dan memperkuat kekuasaan. Biaya politik yang mahal juga dipercaya mendorong praktek korupsi.
Namun apa pun jawabannya, tampaknya sistem politik saat ini dirancang untuk menciptakan siklus korupsi yang hampir mustahil untuk dilanggar. Atau bisa jadi gelaran pemilihan umum hanya lah sekadar kegiatan hidonism, berfoya-foya dalam bungkus pesta demokrasi. Supaya menarik perhatian bagi orang-orang yang tidak mampu menekan nafsu, maka pemilhan umum membutuhkan biaya yang cukup fantastis.
Hal itu memperkuat kesan di masyarakat bahwa politik pada dasarnya adalah kotor. Dan tak sedikit juga mempunyai pendapat, tinggal masalah waktu saja KPK akan menangkapi politisi lain, setelah penangkapan Rommy ini. Dan akibatnya, karir para politisi hanya beberapa saat saja.
Korupsi telah membajak demokrasi Indonesia. Ini setidaknya telah menciderai semua manfaat dari hasil pemilihan umum, yang digelar secara bebas sejak awal Era Reformasi. Sudah lebih dari 20 tahun pemilihan umum, seperti ini digelar dan dirasakan seluruh rakyat. Kita seharusnya tidak begitu saja membiarkan korupsi politik mengotori norma yang ada.
Penyesalan Rommy merupakan anugerah yang patut kita sesalkan juga. Seperti Anas. Dalam memasuki usianya ke 45 tahun. Ia merupakan politisi muda yang menjanjikan, dipercaya banyak orang dan diharapkan dapat membawa perubahan di negara ini. Kejatuhannya, dilihat dari sudut lain, juga merupakan tragedi.
Kita perlu memutus siklus korupsi. Kita bisa mulai dengan mereformasi sistem kampanye dan pendanaan partai politik. Namun itu harus dibarengi dengan adanya keberanian untuk menghukum secara tegas partai-partai politik, baik berhaluan nasionalis maupun Islamis, untuk tidak dipilih dalam pemilhan umum, jika kedapatan pemimpinnya korupsi. Sehingga Indonesia yang bebas dari praktek korupsi, bukan sesuatu yang utopis apalagi hanya mimpi.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.