Masa tenag kampanye jelang pemungutan suara dalam Pilgub DKI Jakarta terasa agak lain dari biasanya. Yang tampak wajar tentu saja terlihat dari ketiga paslon tampaknya mematuhi aturan untuk tidak memanfaatkan momen ini sebagai ajang kampanye maupun “terjun” ke lapangan untuk menggaet dukungan pemilih.
Lalu, apa yang tidak biasa? Indikasi “yang tidak biasa” ini antara lain terlihat adanya gerakan massif yang menyudutkan paslon nomor 2 dengan satu inti pesan politik yang sama: penjarakan BTP sekarang juga dengan ditambah embel2 pesan: jika presiden tidak menonaktifkan BTP, ia melanggar konstitusi dan sangat potensial untuk dimakzulkan.
Hal lain yang unik adalah gerakan ini datang dari berbagai penjuru/kalangan. Sebagian kalangan menyatukan diri dengan identitas aktivis pro demokrasi, sebagian lagi pakar hukum dan ada juga komunitas alumni perguruan tinggi. Semua serangan ini juga unik karena mengedepankan asas “hukum” untuk mendukung tuntutan dan gerakannya.
Jika ditanya apakah gerakan ini terkait dengan kontestasi Pilkada dan berimplikasi pada proses dan hasilnya, mereka pasti akan mengatakan “tidak”. Jika ditanyakan apakah gerakan ini dapat menguntungkan posisi politik kontestan nomor 1 dan 2, jawaban juga sudah bisa dipastikan: “tidak”.
Mari kita uji logika dan akal sehat dari gerakan unik di minggu tenang ini? Selain satu nada, gerakan ini juga memilih minggu tenang sebagai momentum untuk melemparkan isu ini. Mengapa justru minggu tenang yang dipiilih? Anak mahasiswa semester 1 sudah pasti akan menilai bahwa gerakan semacam ini, mau tidak mau atau suka tidak suka, praktis mengambil posisi politik partisan, sekalipun mereka sudah pasti menolaknya. Apa yang dilakukan gerakan ini pasti menguntungkan paslon nomor 1 & 2, sekalipun efeknya belum dapat dinilai.
Dipilihnya masa tenang kampanye sebagai momentum oleh gerakan ini sepenuhnya merupakan pertimbangan politis, bukan hukum. Orang bijaksana tentu akan memilih momentum lain agar gerakannya tidak mempengaruhi proses dan tahapan Pilkada. Seandainya benar bahwa hukum merupakan landasan mereka untuk bergerak, para penggerak isu ini dipastikan sangat memahami bahwa gerakan ini punya manfaat politik bagi paslon-paslon tertentu.
Mengapa gerakan ini tidak mengawal proses peradilan BTP, jika benar yang dilakukan adalah “murni” hukum? Bukankah gerakan ini inline dengan berbagai gerakan massa sebelumnya yang turun ke jalan untuk mendesak agar BTP diproses secara hukum. Mengapa dalil hukum, massa dan media yang ada tidak dijadikan modal untuk mengawal proses persidangan BTP? Toh ada hakim yang nanti akan memutuskan perkara ini. Jika BPT akhirnya dinyatakan bersalah toh juga akan ada konsekuensi hukum baginya.
Dan proses ini, sekali lagi, bisa dikawal dan diadvokasi dengan modal klaim hukum, massa dan media. Cara-cara yg digunakan gerakan ini, yang sangat kental nuansa politik partisannya dalam konteks Pikada, justru memperlihatkan citra orang kalah.
Mengapa? Beberapa klaim yang mengatakan bahwa apa yg dilakukan BTP (terkait dengan penodaan agama) telah membuat rakyat marah justru menjadi sia-sia sama sekali. Mengapa? Jawabnya: klaim seperti itu harusnya membuat orang percaya atau yakin bahwa BTP tidak akan dipilih warga DKI Jakarta yg mayoritas Muslim.
Dengan demikian, lebih dari sekadar memperlihatkan citra orang kalah, gerakan politis ini dapat dipastikan tidak memiliki kepercayaan diri. Untuk apa klaim diciptakan secara besar-besaran bahwa BTP akan ditolak warga DKI Jakarta karena dia diduga melakukan penodaan agama, jika di minggu tenang ini saja masih ada upaya-upaya melakukan desakan agar BTP segera ditahan dan dinonaktifkan?
Jangan-jangan data valid tentang dukungan suara dalam Pilkada DKI yang jadi alasannya. Dengan demikian, pertanyaannya (agar pembaca menyimpulkannya sendiri) adalah: kira-kira data valid seperti apakah yang ada terkait dengan peta dukungan pemilih terhadap ke 3 paslon, yang membuat begitu getolnya aneka gerakan memojokkan paslon 2 di minggu tenang ini? Yang jelas, koor satu nada yang sumbang dari gerakan ini, membuat orang terusik di minggu tenang.