Di Bawah Kaki kaki Tangkuban Perahu…
Di sini juang berpadu
dalam lapar terlantar.
Di sini juang bersatu.
Menang, takkan menyerah!
Itu salah satu petikan lagi “Di Kaki-Kaki Tangkuban Perahu” yang dinyanyikan Paduan Suara Dialita. Sebuah kelompok paduan suara perempuan penyintas 1965. Peluncuran digelar di Taman Beringin Soekarno, Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta, Sabtu, 1 Oktober 2016. Hadir sekitar 300 penonton dari berbagai kalangan, terutama anak muda.
Paduan Suara Dialita merupakan saksi sejarah dan pesan yang ingin disampaikan oleh ibu-ibu tentang pengalaman mereka akan tragedi kekerasan yang terjadi tahun 60an. Lewat nyanyian, mereka berbagi cerita tentang kehidupan dan harapan.
PS Dialita merekam sepuluh lagu dalam bentuk CD di Yogja dan meluncurkan album perdana ini di kota ini.
Malam itu mereka menyanyikan 10 lagu yang sarat makna dan perjuangan, di antaranya Dunia Milik Kita, Padi untuk India, Asia Afrika Bersatu, dan Viva Ganefo. “Kami gembira bangga dan terharu menyanyi di bawah pohon yang ditanam Presiden Soekarno, dan disaksikan sebagian besar oleh anak muda,” kata juru bicara 17 anggota paduan suara.
Dalam launching perdana di Yogyakarta, mereka berkolaborasi bersama musisi muda berbakat seperti Sisir Tanah, Lani Prau dan lain-lain. Di USD mereka didukung dan difasilitasi oleh Pusdema (Pusat Studi Demokrasi dan Hak-hak Asasi Manusia).
Di bawah kokoh pohon beringin yang ditanam oleh Soekarno tahun 1960 di area kampus, Paduan Suara Dialita berdiri tegak, bernyanyi lantang, merdu, indah! Meski hujan deras mengguyur Yogya sejak siang. Malam hari hujan reda dan semua penonton terpana menyaksikan mereka, nyanyikan lagu-lagu sarat pesan, yang sejak tahun 1965 rapat dibungkam.
Meski sebagian ibu-ibu telah sepuh namun semangatnya luar biasa. Mereka bernyanyi riang, merdu, perkasa. Penonton sebagian haru, senang, dan bangga.
Ada yang unik malam itu. Panitia menyuguhi penonton dengan makanan khas ala penjara Plantungan era 1960an. Tampak di tengah keriuhan “malam berkualitas” (kata MC) malam itu, sastrawan Hersri Setiawan dan aktivis perempuan Ita F Nadia, komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga, dosen dan pengurus Pusdema Romo Baskara, aktivis Max Lane dan Faiza Mardjuki, serta seniman Djaduk Ferianto.
Dari balik jeruji besi,
Akan terbukti siapa teman asli atau imitasi.