Mojokerto – Komisi VII Bidang Lingkungan Hidup DPR RI meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menindak lanjuti persoalan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) di area pabrik pengelola limbah B3, PT Putra Restu Ibu Abadi (PRIA) di desa Lakardowo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
“Kami mendorong agar dibor dan diambil sampel tanahnya untuk membuktikan penimbunan limbah B3,” kata anggota Komisi VII DPR RI, Mat Nasir, Senin (28/11/2016).
Menurut Nasir, tim Komisi VII DPR bersama Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup telah berdialog dengan warga Desa Lakardowo dan manajemen PT PRIA pada Kamis (24/11). Hal tersebut menurut Nasir, tentu memerlukan tindakan pembuktian, atas dugaan yang dilakukan PT PRIA tersebut.
“Hal itu sangat penting. Sebab, rembesan limbah yang ditimbun sejak 2010 itu diduga kuat telah mencemari air tanah di sumur warga dalam satu tahun terakhir. Tinggal nanti saksi menunjukkan tempat yang pasti (untuk dibor) agar pas,” ujar Nasir. Permintaan Nasir ini berkaitan dengan warga yang siap menjadi saksi, karena pernah menjadi karyawan di PT PRIA.
“Di depan anggota komisi ada warga yang memberikan kesaksian pernah bekerja dan mengamankan alat berat, dan tahu kegiatan penimbunan,“ ujar Nasir.
Sementara itu, Ketua Advokasi Warga Desa Lakardowo, Daru Setyo Rini mengapresiasi kunjungan anggota Komisi VII dan pejabat KLHK. Ia tetap mendorong terus kepada instansi terkait untuk menyelesaikan persoalan limbah B3 di Desa Lakardowo.
“Kami memang bersama warga, pada pekan akhir Oktober tahun ini pernah mengadu terkait pencemaran limbah B3 PT PRIA. Dewan berjanji akan datang dan melihat langsung lokasi. Kami sudah menjalani ikhtiar itu. Semoga saja instansi terkait segera menyelasaikan persoalan limbah B3 dengan membongkar timbunan di area pabrik,” kata Daru.
Masih kata Daru, warga Desa Lakardowo sudah cukup menderita. Untuk memenuhi biaya hidup sehari-hari, warga harus mengencangkan ikat pinggang. Hal itu disebabkan karena warga harus menanggung beban lingkungan.
“Bisa kita dibayangkan, untuk kebutuhan air saja warga harus beli air galonan. Baik yang bermerk maupun isi ulang,” jelas Daru.
Daru juga mengungkapkan, beberapa bayi yang baru dilahirkan terpaksa harus dimandikan dengan air mineral.
“Seperti cucu dari keluarga Bu Siswati, anaknya Pak Sumali, dan anaknya Pak Pak Edi, warga Dusun Sambil Gembol. Kalau dimandikan air sumur, kulitnya gatal-gatal,“ ujar Daru.
Di tempat lain, Direktur Eksekutif Ecoton, Prigi Arisandi mendesak KLHK supaya mengebor untuk membuktikan adanya penimbunan limbah B3 di area pabrik PT PRIA. “Sejak dulu kami minta itu. Tapi Kementerian dan pihak terkait terkesan menghindar.” Desak Prigi.
Prigi percaya dengan kesaksian warga bahwa ada penimbunan limbah B3 di area PT PRIA yang telah mencemari air tanah warga.
“Sebelumnya, tim Direktorat Jendral Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah menyelidiki dugaan pencemaran. Sampel air di sumur pantau PT PRIA dan sumur warga telah diambil,” jelas Prigi.
Bos PT PRIA, Tulus Widodo, membantah ada penimbunan limbah B3 di dalam tanah yang kini sudah berdiri pabrik. “Tidak ada penimbunan limbah.”
Tulus mengakui ada perataan tanah. Namun tanah itu diuruk menggunakan tanah dari Desa Sidorejo. Bahkan, menurut dia, warga juga diberi kesempatan mengawasi jika ada pelanggaran.
“Satu kali sepekan perwakilan warga kami beri kesempatan untuk melihat.” ujar Tulus.