Demi Allah, saya bangga dan kagum dengan umat Islam yang secara spontan tersentak dalam Ghirah saat merasa agamanya “dihina”. Islam pun mengajarkan umatnya untuk tegas (bukan keras) dalam menyikapi hal-hal yang berkaitan dengan harga diri agamanya. Namun Allah juga mengajarkan kepada kita untuk berbelas kasih. Bahkan dalam Umul Kitab (Induk-Ibu dari Al Quran) kata2 Ar Rahman (Penyayang) dan Ar Rahim (Pengasih) itu sampai di sebut 2 x. Hal itu bukan hanya sekedar isyarat namun juga arahan agar kita menjadi Umat yang Pemaaf dan Pengampun.
Mengenai Aksi yang mengatasnakan Bela Islam tanggal 4 November nanti, sebagai orang yang pernah berjuang menyuarakan aspirasi di jalanan, saya menghormati mereka yang akan menyuarakan aspirasi dan tuntutanya, karena itu adalah bagian dari Demokrasi. Namun, terlintas dalam benak saya, apakah gerakan itu adalah murni gerakan dalam menjaga marwah agama?
Saya tidak ingin berburuk sangka pada mereka yang berniat secara tulus bergerak atas dasar keimanan menyuarakan agar siapa yang “menista” agama untuk diproses melalui hukum yang berlaku di negeri ini. Namun ketika Jays Fath, sayap bersenjata Jabhat Fath Sham (ex-Al Nusra/Al Qaidah Suriah) melalui foto-fotonya yang tersebar bahkan sudah ikut bersuara, saya tersentak dan berfikir, agenda apa dibalik semua ini?
Analisa saya mungkin terlalu ekstrim, namun ini adalah karena kekhawatiran saya terhadap Indonesia, tempat saya dilahirkan dan dibesarkan. Negara yang didirikan di atas jasad dan keringat para Pahlawan dari berbagai etnis dan agama. Ketika kelompok-kelompok Pro Khilafah di Timur Tengah sudah mulai kehilangan kekuatan, mereka akan berusaha menembus Asia, terutama Asia Tenggara (dalam hal ini Indonesia) melalui berbagai propaganda dan tak jarang mereka tega menggunakan kesucian agama sebagai kedok perjuangan.
Sebagai anak negeri, mungkin tidak berlebihan jika saya begitu takut dan tidak ingin negeri yang damai dan aman ini akan berubah menjadi negeri malapetaka seperti Syuriah, Lybia, Iraq, dan negeri-negeri konflik lainya.
Heterogenitas masyarakat di Indonesia sangat disadari oleh pihak-pihak yang ingin menggantikan NKRI dengan ideologi mereka. Ketika keharmonisan antar etnis sudah terjalin dan semakin erat, hal yang paling mudah untuk memecah belah persatuan adalah dengan memanfaatkan isu Agama. Dan ini adalah isu yang paling seksi untuk dimainkan oleh pihak-pihak yang menginginkan Pancasila punah, mengingat kemajemukan dari bangsa Indonesia ini.
Di satu sisi mereka melakukan tindakan yang bertujuan membangkitakan rasa sakit hati pihak lain (pembakaran tempat ibadah), sementara di sisi lain mereka akan melakukan provokasi pada pihak yang merasa tersakiti untuk mengadakan aksi balasan (pelarangan berdirinya tempat ibadah) sebagai wujud balas dendam. Apabila rencana itu sukses, maka negeri ini akan masuk ke dalam pintu gerbang Civil War (perang sipil) yang amat mengerikan. Mengutip ucapan Budiman Sudjatmiko “dalam civil war, akan datang seseorang yang tak kau kenal yang seagama denganmu. ia akan menyuruhmu membunuh tetangga baikmu hanya karena tetanggamu berbeda agama denganmu”, saya tidak bisa membayangkan negeri ini dalam situasi seperti itu.
Dalam hal ini saya tidak membela Ahok (yang diduga menistakan Al Maidah ayat 51) dan juga tidak menyalahkan siapapun yang menginginkan kasus ini segera diproses.Tapi saat Polisi sudah bekerja sesuai prosedur, kenapa harus diintervensi dengan gerakan-gerakan massal, bahkan kampanye tangkap Ahok terus disuarakan baik oleh secara lisan maupun beberapa portal dan pengguna media sosial? Jikalau kita mengakui sebagai warga negara yang taat hukum, hendaknya kita persilahkan Kepolisian untuk memproses yang bersangkutan. Penyidik pun pun nanti akan memanggil beberapa Ulama yang ahli dalam Tafsir untuk bekerjasama menyelidiki, benar tidaknya Ahok menistakan Ayat tersebut.
Apakah kita ingin negeri kita menjadi sperti Syuriah? Jawaban ada pada kita.
Eddy Santry, anggota Banser NU