Kamis, 30 November 23

Kesederhanaan Pak Hoegeng Selalu Aktual

Baru-baru ini seorang warga di Maluku, sempat diproses polres setempat, hanya karena mengunggah humor tentang Pak Hoegeng ke media sosial. Humor kreasi Gus Dur itu sebenarnya sudah viral sejak lama, oleh karenanya menjadi janggal, ketika unggahan warga tersebut kemudian diproses. Memang pada akhirnya ditempuh jalan damai, sehingga kontroversi “salah tangkap” tersebut tidak lagi berlanjut.

Namun dari kasus itu, kita menjadi paham, bahwa figur Pak Hoegeng masih aktual sampai sekarang, terutama pada aspek keteladanan, bahwa masih ada harapan adanya sosok polisi yang jujur. Krisis figur sedang terjadi di negeri ini, setelah kepergian Bung Hatta (1980), masih belum muncul figur negarawan sekaliber beliau.

Beda negarawan dan politisi terletak pada visi. Politisi hanya memikirkan kekuasaan (sesaat) hari ini, sementara negarawan pada saat bersamaan berpikir tentang generasi masa depan. Dalam hal ini Pak Hoegeng telah bertindak sebagai negarawan, ketika bangsa ini didera oleh kasus korupsi akut, keteladanan beliau menjangkau lintas generasi. Pak Hoegeng dikenal sebagai pimpinan polisi yang bersih, sebersih-bersihnya, yang mungkin kurang terbayangkan bagi generasi milenial. Bahkan generasi milenial yang diberi kemudahan untuk duduk di Istana, sudah coba-coba untuk korupsi pula.

Sebagai bagian dari Generasi 1945, keprihatian Pak Hoegeng juga selalu aktual, terlebih bila dihubungkan dengan kondisi rakyat yang masih jauh dari cita-cita kemerdekaan. Sebut misalnya soal keadilan dan kesejahteraan bagi warga, kondisinya jelas semakin memburuk, sementara mereka yang berada di lingkaran kekuasaan adalah penikmat kemerdekaan nyaris tanpa batas. Pertanyaan besar bagi orang seperti Pak Hoegeng adalah: untuk siapa sebenarnya kemerdekaan ini? Biarlah rakyat yang menilai.

Dengan ukuran kesejahteran anggota kepolisian kiwari, idealisme Pak Hoegeng bisa jadi terkesan ekstrem. Pada suatu kesempatan, Pak Hoegeng pernah mengatakan, bahwa dalam kondisi sangat terpaksa, anggota kepolisian siap hanya makan berlauk garam. Bila dinalar, apa mungkin makan hanya dengan garam? Sementara polisi, khususnya yang bertugas di lapangan, justru perlu asupan gizi yang cukup, agar prima terkait tugas-tugas dalam melayani masyarakat.

Terlebih bagi perwira tinggi Polri, yang umumnya berkendara dengan mobil kelas premium seperti Rubicon atau Alphard, rasanya mustahil membayangkan mereka makan hanya berlauk garam. Kerelaan para jenderal Polri untuk meneladani apa yang dulu pernah dilakukan Pak Hoegeng, sudah sangat membantu mengurangi kesenjangan sosial. Atau bila saja para jenderal itu benar-benar berani menahan hasrat dalam hal pembelian mobil mewah, tentu rakyat akan senantiasa mengenangnya. Dan tentu saja tidak perlu seekstrem gaya hidup sederhana sebagaimana Pak Hoegeng dulu.

Kesenjangan sosial dan kemewahan hidup merupakan faktor yang turut memicu keberadaan premanisme. Berdekatan dengan Hari Bhayangkara (1 Juli) tahun ini, pihak Polri seolah diingatkan tentang tugas pokoknya selama ini, yakni memastikan rasa aman bagi masyarakat. Hari-hari ini rasa aman masyarakat sedikit terusik dengan adanya pertikaian terbuka di ruang publik, antara kelompok John Kei dan Nus Kei.

Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis menegaskan, negara tak boleh kalah dengan preman. Pernyataan Kapolri ini merupakan keniscayaan, aparat negara (dalam hal ini Polri) tidak akan memberi ruang kepada kelompok preman, yang membuat resah dan takut masyarakat. Memang ada faktor lain di luar masalah keamanan, yang memicu munculnya premanisme, yaitu soal pengangguran dan kesenjangan sosial. Sementara ada segelintir anggota masyarakat yang hidup dalam kemewahan.

Sejarah seperti berulang, saat Pak Hoegeng masih menjadi Kapolri, pada peralihan dekade 1960-an ke 1970-an, beliau juga pernah menghadapi kasus yang mirip-mirip modus premanisme, yakni kasus Sum Kuning dan penyelendupan mobil mewah yang “dimotori” Robby Tjahjadi. Namun apa boleh buat, upaya Pak Hoegeng dalam mengungkap kasus tersebut, justru memukul balik dirinya.

Benar, Pak Hoegeng harus rela melepaskan jabatan Kapolri, dan dua kasus tersebut dibiarkan “gelap” sampai sekarang. Risiko yang dihadapi Pak Hoegeng bertentangan dengan penegasan Kapolri di atas, karena justru Pak Hoegeng yang “kalah” saat itu. Saat itu Pak Hoegeng adalah representasi negara, dalam posisi sebagai Kapolri.

 

Penulis: Aris Santoso, dikenal sebagai pengamat militer terutama TNI AD, saat ini bekerja sebagai editor buku paruh waktu

- Advertisement -
Berita Terbaru
Berita Terkait