Perang selalu mendatangkan bencana dan kesengsaraan. Meskipun alasan untuk menjaga kedaulatan, kadang-kadang orang-orang yang tidak bersalah adalah pihak yang paling banyak merasakan dampak dari peperangan. Tak terkecuali yang dialami oleh para warga ex Desa Adat Kinokot, yang menjadi pengungsi korban politik konfrontasi, yang saat ini terpaksa harus tinggal di Malaysia.
Akibat politik konfrotasi antara RI dan Malaysia pada kurun waktu tahun 1963-1966, Desa Adat Kinokot luluh lantak. Dan hal tersebut membuat para penduduk desa tersebut terpaksa mengungsi demi menyelamatkan diri. Mereka membuka pemukiman di Sinolob yang kala itu masih termasuk wilayah Desa Adat Kinokot. Dan pasca pembuatan tapal batas, secara definitif dilakukan Pemerintah Indonesia dengan Kerajaan Malaysia pada tahun 1975, mereka terjebak tak bisa kembali ke Kinokot, karena dari pembuatan tapal batas tersebut, Desa Sinolob masuk wilayah Malaysia.
Pengungsi korban politik konfrontasi tersebut juga tak mengerti dengan kebijakan yang diambil Pemerintah Malaysia kala itu yang tak mengembalikan mereka ke kampung halamanya di Indonesia, namun justru memindahkan mereka ke Bantul (wilayah di Sabah Malaysia), dan terahir menempatkan mereka di Kampung Silungai (kampung terdekat dengan Kota Nabawan, Sabah). Padahal besar harapan mereka untuk dapat kembali ketempat asal.
Salah seorang warga eks Desa Kinokot, Gandundung kepada indeksberita.com mengatakan bahwa semua warga pengungsi eks Kinokot sangat berharap dapat pulang ke Indonesia dan membuka kembali Desa Adat Kinokot seperti semula. “Keinginan terbesar kami adalah untuk kembali ke Indonesia, menjadi warga negara Indonesia, karena kami dari Indonesia. Usaha dan perjuangan kami untuk dapat kembali menjadi warga negara Indonesia bukan sekali atau dua kali tapi sudah berkali-kali. Kami sangat berharap Pak Presiden Jokowi dapat membantu kami agar memulangkan kami,” tuturnya, Senin (27/3/2017).
Masih menurut Gandundung, memang tidak ada bukti tertulis bahwa mereka adalah dahulunya adalah warga negara Indonesia, apalagi Desa Adat Kinokot  pada tahun 1980 sudah dihapus registernya, namun dirinya menegaskan bahwa saksi-saksi hidup tentang kebenaran sejarah itu sampai saat ini masih hidup dan mereka bermukim di desa Labang, Kecamatan Lumbis Ogong, Kabupaten Nunukan maupun para tetua adat yang tinggal di Pesiangan, Bantul dan Pegalungan (yang masuk wilayah Malaysia).
Ada kisah heroik dari para pengungsi Kinokot ini, yakni sampai saat ini mereka masih menyimpan selembar kain Bendera Merah Putih berukuran sekitar 4m x 6m yang menurut Gandundung, bendera tersebut adalah amanat Bung Karno kala itu, untuk dikibarkan di Desa Adat Kinokot (yang merupakan titik peperangan antara Pasukan Sukarelawan RI melawan Pasukan Ghurka).
“Bendera itu sampai sekarang tetap kami simpan sebagai benda pusaka karena hanya itulah satu-satunya milik kami yang membuktikan bahwa kami sangat mencintai Indonesia. Dan kenapa kami tetap menjaga Bendera Merah Putih itu, karena kami sangat ingin pulang ke Indonesia dan dapat megibarkan bendera tersebut di Desa Adat (Kinokot-red) kami,” ujar Gandundung.
Terkait nasib para pengungsi yang saat ini bermukim di wilayah Malaysia tersebut, sekitar bulan Mei 2016, Pemuda Penjaga Perbatasan RI, pernah memfasilitasi para sesepuh adat dari pengungsi untuk melakukan audiensi dengan Triyono Budi Sasongko, yang kala itu menjabat sebagai Pj. Gubernur Kalimantan Utara. Sebanyak 15 orang sesepuh hadir dalam audiensi tersebut mewakili 450 orang dari 112 Kepala Keluarga. Namun setelah audiensi itu, hingga saat ini, belum ada tindak lanjut  berarti. Sementara para pengungsi kita masih menanggung derita, rindu kampung halaman.