Membangun industri bahan baku obat farmasi harus segera dilakukan. Tetapi kita jangan lupa pula pada keunggulan kompetitif kita di obat herbal. Menurut data yang di paparkan oleh Dr.Keri Lestari, M.Si.Apt dari Universitas Padjajaran, Indonesia memiliki 30 ribu dari 40 ribu spesies tanaman di dunia. Dan dari 30 ribu spesies tanaman yang ada di Indonesia tersebut, sebanyak 9.600 diantaranya memiliki khasiat sebagai obat. Menurutnya, ini merupakan potensi yang sangat besar untuk kita mandiri dalam bahan baku obat.
Melihat sikap optimistisnya, indeksberita kemudian melakukan wawancara khusus dengan Dr.Keri Lestari, M.Si.Apt mengenai bahan baku obat, obat herbal dan regulasinya.
Bisakah kita mandiri dalam industri obat-obatan ?
“Peluang untuk bisa mandiri dalam industri obat, terutama bahan baku obat sangat mungkin jika kita duduk bersama dan bersepakat untuk membumikan sumber daya alam Indonesia untuk kemandirian bahan baku obat Indonesia. Caranya ya dengan membangun strategi bersama antara akademisi, bisnis, pemerintah untuk mengoptimalkan potensi kita di herbal bagi kepentingan masyarakat. Dan bagaimana pemerintah sebagai regulator memfasilitasi & mau menjemput bola, bukan hanya menunggu industri dan masyarakat yang mengajukan ijin untuk registrasi,” Keri.
Bagaimana dengan riset terhadap obat-obat herbal ?
“Selama ini riset sudah berjalan, dukungan dari kementrian Ristek Dikti dan Kemenkes sangat fasilitatif untuk hal ini, beberapa hasil riset siap dihilirkan untuk kepentingan masyarakat, melalui bekerjasama dengan industri. Kita tinggal menunggu BPOM sebagai regulator memfasilitasinya untuk ijin edarnya ke masyarakat. Ada baiknya jika pihak regulator pro aktif, menanyakan hasil penelitian tersebut, dan berinisiatif untuk memfasilitasi registrasinya sehingga terjadi percepatan hilirisasi hasil riset untuk masyarakat” ujar Keri.
Bagaimana secara umum regulasi pemerintah dalam mengupayakan kemandirian di industri farmasi ?
Dekan, wakil rektor sekaligus peneliti ini, melihat bahwa Instruksi Presiden (Inpres) no.6 tahun 2016 mengenai Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan, yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo tanggal 6 Juni tahun 2016, sangat baik untuk memacu ketersediaan bahan baku obat. Tinggal bagaimana implementasinya di lapangan. Kemenristekdikti sudah memfasilitasi riset terkait bahan obat dan inovasi pengembangannya. Kemenkes sdh memfasilitasi hibah riset kemandirian Bahan baku Obat bagi para peneliti yg sudah bekerjasama dengan industri. Tinggal bagaimana hasil riset di 2 kementrian tersebut difasilitasi oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) untuk dapat beredar dan dimanfaatkan masyarakat. Sinergitas ini penting untuk efektifitas dan pendayagunaan hasil riset untuk masyarakat. Hal ini menurut Keri, bukan bermaksud untuk melonggarkan aturan yang bersifat pencegahan terhadap lolosnya zat-zat berbahaya, tetapi bagaimana optimalisasi pemanfaatan hasil riset tersebut untuk masyarakat.
“Hasil riset itu tentunya sdh melalu peninjauan dan evaluasi para tenaga ahli, sehingga diharapkan aspek pantauan dari BPOM pun mengakomodir hal ini, selama memenuhi persyaratan dan penilaian yg komprehensif menyangkut khasiat dan keamanannya,” ujar Keri.
Apa yang harus dilakukan oleh BPOM ?
“Pengawasan yang dilakukan oleh Balai POM untuk bahan baku obat herbal, sebaiknya dilakukan secara komperhensif, melihat semua segmen kajian farmakologis dan kimia serta mempertimbangkan keunggulan sumberdaya sendiri. Seperti yg terjadi di China dan India, ada keberpihakan yg jelas untuk bahan original dari wilayahnya dapat dikembangkan berdasarkan riset empiris dan inovasinya. Saya yakin Bu Penny (Dr.Ir.Penny K Lukito MCP-Kepala BPOM-Red) akan mendukung Inpres tersebut. Dengan memberi kesempatan yg lebih luas terhadap inovasi produk herbal asli Indonesia, yang sudah dikembangkan berdasarkan riset di 2 kementrian tadi. Ini yang kami tunggu atas implementasi Inpres. Pada protokol lama, produk inovasi disetarakan persyaratannya dengan bahan kimia. Ini menjadikan sulitnya produk inovasi herbal beredar di masyarakat, padahal publikasi ilmiahnya sudah terpublish secara internasional, sebagai salah satu outcome atas hibah riset yg disediakan di 2 kementrian tadi. Jika pengolahan produk inovasi ini tidak dapat segera beredar, dikhawatirkan terjadi eksodus raw materialnya keluar, karena pihak luar sudah tau khasiatnya, yang mereka baca dari publikasi ilmiah tadi. Nah kalau demikian hadil riset kita menjadi tidak optimal utk kesejahteraan sendiri,” ujar Keri lagi.
Sejauh mana regulasi BPOM, dianggap menghambat pengauatan industri obat herbal di negeri ini?
“Ada hal lain yang mencengangkan, ketika satu bahan baku herbal yang sudah dipakai oleh masyarakat bertahun-tahun, kemudian dilakukaan inovasi dan modifikasi, kemudian menjadi obat herbal dengan indikasi tertentu, ketika kemudian didaftarkan, malah harus mengikuti protokol obat kimia. Ini tentu menyurutkan semangat riset inovatif. Semoga dengan terbutnya Inpres tadi, BPOM lebih fasilitatif untuk produk Inovatif, selama khasiatnya dan keamanannya terbukti melalui uji preklinik dan atau uji klinik” ujar Keri dengan nada semangat.
Ketika ditanyakan apakah obat herbal akan dapat mensubsitusi obat farmasi/kimia, Ia sangat yakin bahwa hal tersebut bisa terwujud.Â
“Jika kita duduk bersama, memikirkan strategi dan bersinergi, tidak ada yg sulit. Banyak dokter yang mau meresepkannya kok pak, asal sudah masuk kategori obat herbal terstandar dan fitofarmaka, dan ini regulatornya adalah BPOM. Intinya adalah, bagaimana regulator mau fasilitatif & menjemput bola atas hasil penelitian yang dilakukan terhadap obat-obat herbal. Dan  komperhensif dalam mengatur strategi percepatan kemandirian bahan obat,” ujar Keri mengakhiri pembicaraan ini.
Sebagai informasi, Dr.Keri Lestari,M.Si.Apt. adalah Pembantu Rektor Bidang Riset, Pengabdian Masyarakat, Kerjasama Inovasi dan Usaha. Sebelumnya, pada tahun 2014 dilantik menjadi Dekan Fakultas Farmasi Unpad. Wanita kelahiran Bandung tahun 1969 ini, adalah lulusan Sarjana Farmasi Unpad (1993), Magister Kimia Klinik Institut Teknologi Bandung (2000), dan Doktor Ilmu Kimia Unpad (2010). Â Keri Lestari adalah pemegang hak paten pembuatan dan penggunaan ekstrak biji pala (Myristica fragrans Hout) sebagai anti hiperglikemik untuk obat anti diabetes pada pasien diabetes tipe 2. Dan pemegang hak paten untuk sedian bahan untuk obat anti dislipidemik menggunakan ekstrak biji pala (Myristica fragrans .Hout) beserta metode pembuatannya.