Hampir semua negara-bangsa kelabakan menghadapi pandemi Corona, itu bisa terjadi, karena dalam catatan sejarah memang belum pernah terjadi kejadian seperti ini sebelumnya. Sehingga setiap pemimpin negeri masih terkesan coba-coba, bagaimana kira-kira tindakan terbaik bagi rakyatnya, tanpa ada ada rujukan yang pasti. Kebijakan yang dipilih bergantung pada intuisi pimpinan.
Kira-kira begitu pula yang terjadi di negeri kita. Kita juga bisa belajar dari sejarah, bahwa sebuah peristiwa besar, biasanya juga akan melahirkan tokoh besar. Kita sudah bisa melihat pada sosok Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, yang demikian sigap mengantisipasi kedatangan wabah tersebut, bahkan terkesan lebih cepat dari apa yang dilakukan di pusat (Jakarta).
Saat virus Corona mulai merebak di Indonesia, warga langsung diliputi kecemasan tiada henti. Saat Presiden Joko Widodo mengumumkan dua warga positif terinfeksi Corona pada awal Maret, kecemasan masyarakat kian meningkat. Kepanikan warga makin bertambah, saat semakin sulit mencari masker dan cairan antiseptik, hingga sempat terjadi rush (pembelian karena panik) sembako di sejumlah supermarket, menjadikan situasi kian mengkhawatirkan.
Gencarnya pemberitaan media soal eskalasi dampak Corona, dan gencarnya obrolan warga di media sosial tentang perkembangan situasi, membuat kepanikan berlangsung terus dan berkelanjutan. Situasi yang benar-benar meruntuhkan mental warga. Pada titik ini, kepercayaan pada pimpinan menjadi krusial.
Untuk mengalahkan pandemi, masyarakat perlu percaya pada pakar sains, warga negara perlu memercayai otoritas publik. Dalam antisipasi wabah, jejak Indonesia sedikit aneh, kalau tidak boleh dikatakan abai, ketika Menkes pada pertengahan Februari tampak terlihat masih santai, sementara Wali Kota Surabaya sudah menyiapkan skema, seandainya wabah benar-benar datang seperti sekarang.
Pada gilirannya kita bisa melihat, bagaimana secara perlahan peran Menkes mulai surut, salah satu indikatornya adalah nyaris beliau tidak pernah tampil lagi di media. Peran Doni Munardo (Kepala BNPB) yang kemudian lebih mengemuka. Kalau kita percaya pada adagium, sebuah peristiwa besar, selalu menghasilkan tokoh besar, mungkinkah orang-orang seperti Doni Munardo, Ibu Risma (Wali Kota Surabaya), Khofifah (Gubernur Jatim), Ridwan Kamil (Gubernur Jabar), kelak akan menjadi tokoh besar, kita tunggu saja nanti. Kini yang utama adalah, bagaimana semua pejabat atau elite politik di Tanah Air bersedia menurunkan egonya, demi keselamatan rakyat.
Mengingat soal bagaimana cara terbaik mengatasi virus Corona, para elite di Jakarta juga belum ada kata sepakat, ketika banyak pemda mulai mengusulkan opsi lockdown (karantina wilayah secara total), pemerintah pusat masih percaya pada social distancing (pembatasan sosial). Pembatasan sosial hanya berhasil jika ada kedisiplinan.
Sementara dalam kenyataannya, masih ada jumpa pers sebuah kementerian yang mengundang wartawan, sehingga menciptakan kerumunan. Padahal, pemerintah secara tegas memerintahkan warga, agar menghindari kerumunan, termasuk jangan membuat kerumunan. Apa yang bisa kita lihat dari narasi terakhir ini, justru elite pemerintah sendiri yang gagal dalam memberi contoh. Ironisnya, pimpinan kementerian ini pula yang diserahi tugas, soal opsi bagi Jakarta, akan lockdown, atau tetap pembatasan sosial.
Saatnya para pemimpin sendiri yang menjadi teladan, untuk memastikan kebijakan jaga jarak dijalankan secara disiplin. Tanpa keteladanan pimpinan, semua opsi akan sia-sia. Terlihat ketika pemerintah melakukan pembatasan moda transportasi AKAP (antar kota antar provinsi) dari Jakarta ke daerah, kebijakan ini boleh disebut terlambat. Pada kenyataannya telah banyak perantau yang pulang kampung, yakni mereka yang biasa mencari nafkah di sektor informal. Arus pulang kampung ini yang dikhawatirkan berpotensi menyebar wabah di daerah asal perantau.
Kepemimpinan yang kuat akan menentukan sukses-tidaknya upaya mengatasi pandemi, yang diukur dari tren menurunnya jumlah warga yang terpapar. Kita masih menyaksikan belum padunya kebijakan pimpinan, Gubernur Papua misalnya memutuskan lockdown. Sementara Wali Kota Tegal menerapkan local lockdown. Pada titik ini karakter kepemimpinan diuji. Seperti terlihat dari respons Gubernur Jateng, yang terkesan mementahkan kebijakan Kota Tegal.
Tiba saatnya bagi para pemimpin untuk duduk bersama, guna mengerahkan semua sumber daya nasional. Melawan pandemi Corona dibutuhkan kepemimpinan dengan arah kebijakan yang jelas, dan mudah dipahami rakyat jelata. Keselamatan rakyat adalah yang utama, itulah tugas dan kewajiban konstitusional seorang pemimpin.
Penulis: Aris Santoso, dikenal sebagai pengamat militer, kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.