Rabu, 22 Maret 23

Kepemimpinan Jenderal di KONI Tidak Identik Dengan Prestasi

Bagi yang sempat mengamati dunia olahraga di Tanah Air pada dekade 1970-an, mungkin masih ingat dengan nama yang sangat familier, yakni Dadang Suprayogi, Ketua Umum KONI di era tersebut. Perawakannya yang tidak terlalu tinggi, dengan wajah kebapakan, sama sekali jauh dari kesan seorang jenderal. Benar, Suprayogi adalah purnawirawan jenderal, bahkan saat masih aktif sebagai militer, sempat menjabat Pangdam III/Siliwangi. Setelah pensiun, Suprayogi mengabdikan dirinya dengan memimpin KONI. Dengan melihat pengalaman Suprayogi tersebut, sudah sejak lama, setidaknya sejak periode 1970-an, sudah banyak jenderal di KONI, baik sebagai Ketua Umum maupun memimpin organisasi induk olahraga.

Beberapa nama lain antara lain adalah Bardosono (Ketum PSSI), Ali Sadikin (Ketum PSSI), Gatot Suwagio (organisasi balap sepeda), Leo Lopulisa (tae kwon do), dan seterusnya. Ketua Umum KONI sekarang juga pensiunan militer, yakni Letjen TNI (Purn) Marciano Norman (Akmil 1978), menggantikan posisi Mayjen TNI (Purn) Tono Suratman (Akmil 1975), yang juga seorang purnawirawan. Sepertinya masyarakat kita sudah tidak bisa pindah ke lain hati, bila diminta memilih figur pimpinan organisasi olahraga.

Seorang figur militer acapkali dipilih sebagai pimpinan organisasi olahraga, berdasar asumsi dianggap lebih disiplin ketimbang figur sipil murni atau birokrat. Perwira militer (utamanya jenderal) dan olahraga kemudian menjadi identik. Selain citra disipilin, para jenderal dianggap masih memiliki pengaruh, khususnya terkait penggalangan dana.

Nama-nama jenderal yang kini memimpin induk olahraga, umumnya adalah jenderal yang sebelumnya memang sudah terkenal, seperti Prabowo (IPSI, induk organsasi pencak silat), Wiranto (bulutangkis), Gatot Nurmantyo (FORKI), M Iriawan (Iwan Bule, Ketum PSSI), dan seterusnya. Meski ada juga jenderal yang memimpin organisasi olahraga yang sampai hari ini bermasalah, yakni Komjen Pol (Purn) Oegroseno, yang menjadi Ketua Umum PTMSI.

Karut marut kepemimpinan PTMSI, merupakan catatan buruk, bahwa kepemimpinan yang kacau, berdampak signifikan bagi merosotnya prestasi atlet. Bahkan organisasi induk PTMSI terpecah pada tiga pengurus, dan mereka saling klaim yang paling benar, sementara kalau kita lihat di lapangan, kenyataannya sungguh pahit. Sudah dua tahun ini, atlet tenis meja tidak ada yang berangkat mengikuti turnamen di mancanegara, karena tidak ada dukungan dana. Bagaimana mungkin ada dukungan dana, bila pengurusnya saja saling cakar-cakaran.

Secara kasatmata kita bisa melihat, bahwa kepemimpinan seorang jenderal tidak berarti juga berbuah prestasi. Dalam banyak pengalaman, memimpin organisasi olahraga semacam “transit” bagi jenderal yang bersangkutan, untuk tetap eksis di ruang publik. Mereka belum cukup siap mental, untuk kembali menjadi orang biasa, seperti yang terjadi pada Jenderal Wismoyo, saat baru pensiun sebagai KSAD. Sementara prestasi olahraga tetap jalan di tempat.

Bila untuk situasi kekinian, memimpin induk olahraga merupakan aset politik atau semacam investasi, yang siapa tahu berguna bila suatu saat nanti sang pimpinan terjun dalam pilkada, maju sebagai caleg atau calon anggota DPD. Memimpin organisasi olahraga adalah salah satu cara untuk tetap diingat publik.

Bila kita perhatikan, bagi jenderal yang memiliki akses kuat terkait sumber dana, seperti Prabowo, induk olahraga yang dipimpinnya biasanya berjalan normal, dan atletnya banyak menorehkan prestasi. Pelajaran yang bisa kita adalah, menjadi pengurus organisasi olahraga adalah medan pengabdian, bukan untuk mencari keuntungan pribadi, baik berupa finansial maupun politis.

Dalam mencari figur pimpinan induk organisasi olahraga, ada banyak pilihan, bisa juga dari kalangan swasta yang mapan, seperti Bob Hasan. Yang penting memiliki dedikasi tinggi untuk memajukan prestasi olahraga. Figur yang rela berkorban baik moril maupun materiil, merupakan syarat utama. Figur pimpinan dituntut jiwa sosial yang tinggi.

Pimpinan KONI atau induk olahraga, diharapkan memiliki empati, menyelami apa yang dirasakan atlet dan pelatih yang berkorban untuk mengukir prestasi dengan mengeluar modal sendiri. Para atlet dan pelatih baru ada bantuan dana (uang saku) bila akan menghadapi event olahraga tertentu.

Seperti figur Prabowo yang sudah disebut secara sekilas di atas, figur seperti Bob Hasan (Ketua Umum PASI) adalah tipe ideal. Kita bisa lihat buktinya di lapangan, atlet atletik telah mengukir prestasi secara signifikan, seperti ditunjukkan M Zohri. Boleh saja figur militer memimpin induk olahraga, asalkan dia siap “tekor”, seperti Prabowo. Bukan sebaliknya, justru mencari keuntungan finansial dari organisasi yang dibinanya.

 

Penulis : Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer (khususnya TNI AD). Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu
Penulis : Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer (khususnya TNI AD). Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu

- Advertisement -
Berita Terbaru
Berita Terkait