Beijing – China mencatat pertumbuhan ekonomi terlambat sejak 2009. Kendati lonjakan utang baru telah memicu pemulihan aktivitas manufaktur, investasi, dan pengeluaran rumah tangga di negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia itu.
Ekonom menilai hal itu merupakan kabar baik dalam jangka pendek. Tapi, sebagian mengkhawatirkan bahwa hal itu akan menandai kembalinya China ke aturan lama yang digunakan selama menghadapi krisis keuangan, dimana Beijing mendorong ekonominya melalui stimulus besar-besaran, bukan melalui reformasi struktural.
Data resmi yang dirilis Biro Statistik Nasional (NBS), Jumat (15/4/2016), menunjukkan produk domestik bruto China tumbuh 6,7 persen pada kuartal pertama tahun ini (year-on-year). Angka itu sedikit lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada kuartal IV tahun lalu sebesar 6.8%.
Namun sejumlah indikator lain seperti aktivitas pinjaman baru, penjualan ritel, produksi industri, dan investasi aktiva tetap berjalan lebih baik dari perkiraan semula.
Beberapa analis mengatakan data ini adalah bukti menggembirakan bahwa China berhasil keluar dari posisi terpuruknya. Namun, sebagian mengingatkan bahwa keadaan di kuartal pertama tahun 2015 juga menunjukkan awal yang baik, sebelum akhirnya pasar saham mengalami keterpurukan di akhir tahun tersebut.
“Apa yang terjadi menunjukkan stabilisasi ekonomi lama” kata Raymond Yeung dari ANZ seperti dikutip Reuters, merujuk pemulihan dalam produksi industri dan investasi aktiva tetap.
“Saya akan berhati-hati dengan pertumbuhan ini. Angka 6,9 persen tahun lalu didukung oleh kontribusi besar dari jasa keuangan dan pertumbuhan pinjaman yang kuat, serta pertumbuhan kredit baru dan aktivitas IPO menunjukkan bahwa hal-hal itu masih akan tetap berkontribusi besar,” ujarnya.
NBS mengatakan bahwa kendati indikator utama ekonomi menunjukkan perubahan positif, namun tekanan yang ada tidak bisa diremehkan. Pasar keuangan global dan domestik melangkah berdasarkan data.
Namun, biro tersebut belum mendistribusikan data pertumbuhan GDP per kuartal seperti yang dilakukan sebelumnya dengan alasan pihaknya perlu waktu lebih untuk melakukan perhitungan.
Beijing berharap pemulihan ini – bahkan yang didukung oleh peningkatan kredit – dapat dipertahankan untuk menghindari adanya kebutuhan untuk melakukan stimulus lebih agresif yang mungkin berdampak pada gelembung aset.
Bank Cina memperpanjang skema pinjaman baru sebesar 1,37 triliun Yuan ($ 211.230.000.000) pada Maret 2016. Jumlah itu hampir dua kali lipat pinjaman dari bulan sebelumnya sebesar 726.600.000.000 Yuan.
Di aspek lain, pertumbuhan penjualan ritel mencatat sedikit kenaikan di atas perkiraan yakni dari 10,2 persen menjadi 10,5 persen. Sementara, pertumbuhan untuk investasi aktiva tetap naik menjadi 10,7 persen pada kuartal pertama dari 10,2 persen, melebihi ekspektasi pasar sebesar 10,3 persen.
Sedangkan pertumbuhan industri melonjak hingga 6,8 persen dari 5,4 persen. Hal ini mengejutkan analis yang sebelumnya memperkirakan kenaikannya hanya sampai 5,9 persen. NBS juga mencatat bahwa pengangguran resmi tetap rendah yakni sekitar 5,2 persen.
Angka ekspor Maret 2016 juga mencatat pemulihan yang tak terduga, meskipun beberapa ekonom mengingatkan bahwa hal itu sedikit banyak dipengaruhi musiman liburan akhir Tahun Baru Imlek tahun lalu.
Ekonom menilai pemulihan ekonomi China tidak serta merta telah mengatasi seluruh persoalan ekonomo yang dihadapi negara itu.
“Data yang dirilis hari ini (15/4) seharusnya tidak mengalihkan perhatian kita dari fakta bahwa masalah struktural yang dihadapi perekonomian China tetap tidak terselesaikan,” kata Tom Rafferty, ekonom dari Economist Intelligence Unit.