Jakarta – Penyidikan dugaan tindak pidana korupsi dalam perjanjian BOT antara PT. Hotel Indonesia Natour (Persero) dengan PT. Cipta Karya Bumi Indah – PT Grand Indonesia, mulai dilakukan oleh pihak Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Selasa (1/3/2016).
Tim penyidik Tindak Pidana Khusus (Pidsus), Selasa (1/3/16) telah mengagendakan pemeriksaan empat orang Saksi, Johanes Arief Hartono – Direktur Utama PT. Cipta Karya Bumi Indah Periode 2004, Fransiskus Yohanes Hardianto Lazaro – Direktur Utama PT. Grand Indonesian, Wijajanto Samirin, serta mantan mentri BUMN diera Presiden Megawati, Laksamana Sukardi.
Dari pantauan indeksberita.com Laksamana Sukardi hadir memenuhi panggilan penyidik sekitar pukul 09.30 Wib.
Menurut Kapuspenkum Kejagung Amir Yanto, pemeriksaan pada pokoknya mengenai kronologis terjadinya Perjanjian Kerjasama antara Hotel Indonesia dengan PT. Cipta Karya Bumi Indah dengan sistem Builtd, Operate, and Transfer (BOT) tahun 2004 dimana Laksamana Sukardi selaku Menteri BUMN pada saat itu.
“Pemeriksaan ini mengurai bagaimana kronologis terjadinya proses BOT yang didalamnya menerangkan kerjasama antara pemerintah dan swasta dalam rangka pembangunan suatu proyek infrastruktur di Tahun 2004 mengingat saat itu yang bersangkutan menjabat selaku Menteri BUMN,” ujar Kapuspenkum Kejagung Amir Yanto kepada pers.
Dari keempat saksi yang dipanggil, lanjut Amir, satu orang saksi yakni Fransikus Yohanes Hardianto Lazaro mangkir tanpa keterangan. Kejagung akan menjadwalkan kembali pemeriksaan yang bersangkutan.
Seperti diketahui, setelah PT. Cipta Karya Bumi Indah menjadi pemenang lelang pengelolaan Hotel Indonesia dan dilaksanakan perjanjian kerjasama dengan PT. Hotel Indonesia Natour (Persero) dengan sistem Builtd, Operate, and Transfer (BOT) atau membangun, mengelola, dan menyerahkan (bentuk hubungan kerjasama antara pemerintah dan swasta dalam rangka pembangunan suatu proyek infrastruktur) di Tahun 2004, PT. Cipta Karya Bumi Indah telah membangun dan mengelola gedung menara BCA dan Apartemen Kempinski yang tidak ada dalam perjanjian BOT antara kedua belah pihak.
Hal itu berakibat tidak diterimanya bagi hasil yang seimbang atau tidak diterimanya pendapatan dari operasional pemanfaatan kedua bangunan tersebut sehingga mengakibatkan kerugian Negara yang untuk sementara adalah sekitar Rp. 1.290.000.000.000,-.