Rabu, 22 Maret 23

Kasus Kebakaran Hutan, dari Blusukan Jokowi hingga SP3 Polri

Kita mungkin masih ingat peristiwa kebakaran hebat yang melanda puluhan ribu hektar hutan pada 2015 lalu. Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan merasa perlu melakukan blusukan di tengah kepungan asap hasil pembakaran hutan bersama sejumlah pejabat pusat dan daerah. Dengan kemeja khasnya yang berwarna putih dan lengan digulung, Jokowi nampak heroik berjalan tak bermasker di tanah berdebu diantara pepohonan kering yang terpapar api. Ia bahkan sempat menggelar rapat di tengah lahan yang terbakar itu.

Pasca blusukan Jokowi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan(KLHK) segera membentuk satuan tugas (satgas) nasional kebakaran hutan. “Tugas utama satgas ini ada tiga, yakni pemadaman kebakaran hutan, penegakan hukum, dan dampak bencana kebakaran hutan bagi kesehatan,” kata Sekjen KLHK Bambang Hendroyono saat itu.

Berdasarkan data KLHK per September 2015, kata Bambang, beberapa perusahaan di berbagai termasuk ke dalam daftar yang diselidiki oleh pihaknya. Pasalnya, dalam kebakaran tersebut ditemukan unsur kesengajaan yang dilakukan oleh perusahaan yang umumnya bergerak di bidang tanaman industri dan kelapa sawit.

Dalam kasus kebakaran hutan di Provinsi Riau, belakangan Polda Riau menyatakan menghentikan penyidikan dan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) untuk 15 perusahaan yang diduga ikut terlibat dalam kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau, pada 2015. Penghentian penyidikan disampaikan Direktur Reskrimsus Polda Riau, Kombes Rivai Sinambela, Kamis (21/7).

Rivai menjelaskan, SP3 untuk 15 perusahaan ini dilakukan karena belum memenuhi unsur atau bukti-bukti yang kuat. “Karena tidak memenuhi unsur adanya kesengajaan atau kelalaian, sehingga kami berkesimpulan kasus tersebut selayaknya dihentikan,” kata Rivai.

Perusahaan tersebut terdiri dari 11 perusahaan tanaman industri yang mencakup PT Bina Duta Laksana, PT Perawang Sukses Perkasa Indonesia, PT Ruas Utama Jaya, PT Suntara Gajah Pati, PT Dexter Perkasa Industri, PT Siak Raya Timber, PT Sumatera Riang Lestari, PT Bukit Raya Pelalawan, PT Hutani Sola Lestari, KUD Bina Jaya Langgam dan PT Rimba Lazuardi. Sisanya, perusahaan bergerak dalam bidang kelapa sawit yakni PT Parawira, PT Alam Sari Lestari, PT PAN Uniter, dan PT Riau Jaya Utama.

Rivai menyebutkan penyidikan dihentikan karena pada prosesnya masih adanya kekurangan pemeriksaan dari saksi ahli, analisa tempat kejadian perkara serta berdasarkan dari penyidikan yang dilakukan. Ditambahkannya, dari proses yang dilakukan pihaknya juga melakukan ground cek lokasi. Melihat fakta yang ada serta memeriksa saksi-saksi.

“Rata-rata lahan yang kita (polda) tangani merupakan lahan sengketa antara perusahaan dan masyarakat. Jadi perusahaan yang dalam jatah lahan konsensus tidak seluruhnya bisa mengelolanya. Ada beberapa yang kemudian dikuasai perorangan. Nah lahan tersebut yang terbakar,” ujarnya.

Hal itu, menurutnya, mementahkan dua alat bukti sebelumnya yang menjadi tersangka. Alat bukti itu merupakan keterangan saksi titik koordinat kebakaran dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau. “Lokasi kebakaran bukan di lokasi lahan perusahaan,” katanya.

Selain itu, ada juga perusahaan yang sudah tidak lagi beroperasi saat kebakaran terjadi. “Ada juga saat kebakaran terjadi perusahaan sudah tidak beroperasi lagi di lahan itu,” tambah Rivai.

Lebih lanjut Rivai mengatakan, penyidik tidak mau memaksa kalau memang tak ada bukti. “Nanti kalau dipaksakan bisa bebas lagi di pengadilan, seperti PT Langgam,” kata dia.

Seperti diketahui, PT Langgam Inti Hibrindo adalah satu dari ketiga perusahaan tersangka pembakar hutan yang diputus bebas Pengadilan Negeri Pelalawan, Riau, awal Juni 2016 lalu. Menurut majelis hakim, mereka tak terbukti membakar lahan.

Senada, Kamis (21/7/2016) lalu, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Boy Rafli Amar menyatakan, pihaknya memiliki alasan kuat untuk menghentikan penyidikan kasus itu. Ia bahkan “menantang” secara terbuka jika ada pihak yang merasa keberatan dengan keputusan tersebut.

“Kalau masyarakat merasa ada yang dirugikan, gugat saja keputusan itu. Terbuka kok, ada praperadilan. Kalau memang itu dinilai sesuatu yang tidak patut,” kata Boy di Mabes Polri, Kamis (21/7/2016).

Kelemahan

Menteri LHK Siti Nurbaya memerintahkan Dirjen Penegakan Hukum untuk mempelajari langkah hukum Polri tersebut. Menurut Siti, pengumpulan data dan fakta itu perlu dilakukan untuk mengetahui kelemahan apa saja sehingga Polda Riau mengeluarkan SP3 terhadap 15 perusahaan itu.

Siti mengemukakan, perlu pengkajian mendalam, apakah sejak awal polisi terlalu cepat memberikan police line di lokasi, atau memang bukti masih lemah. “Semua perlu dikaji ulang untuk penanganan ke depan,” kata Siti, Kamis (21/7).

Menurut Siti, sejak awal penanganan kasus kebakaran lahan, pihaknya sudah bekerjasama dengan Polri. Dalam pembagian tugas, saksi pidana menjadi kewenangan Polri sedangkan saksi administrasi menjadi kewenangan KLH.

Sementara itu, Presiden Jokowi melalui Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki mengatakan, akan meminta Kapolda Riau dan Kapolri untuk menjelaskan, apakah memang karena faktor pidana sulit ditemukan pelakunya.

Teten secara khusus datang ke Pekanbaru untuk memastikan secara langsung kebenaran laporan yang selama ini diterima Istana Kepresidenan terkait penanganan kebakaran hutan dan lahan di Riau.

Ia mengatakan, pihaknya tak mau berspekulasi. Ia ingin mempelajari terlebih dulu sebelum menyimpulkan apakah kebijakan Polda Riau itu merupakan bentuk kepastian hukum atau sebaliknya, untuk melindungi para investor.

Keputusan Polri Tak Beralasan

Terpisah, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyesalkan keputusan Polri. Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan, Khalisah Khalid menilai Polri gagal menjawab tantangan penegakan hukum lingkungan yang melibatkan korporasi.

“Alasan tidak cukup (bukti) pun menjadi tidak beralasan, karena sejak awal semua pihak tahu bahwa ini bukan tindak kejahatan biasa, melainkan kejahatan luar biasa,” ujar Khalisah, Senin (25/7/2016).

Seharusnya, kata Khalisah, Polri tidak menghentikan penyidikan, melainkan mengusut lebih dalam keterlibatan perusahaan-perusahaan tersebut. “Upaya kepolisian harusnya juga diarahkan secara khusus ke arah sana,” katanya.

Berdasarkan catatan Walhi, lanjutnya, pengusutan kasus pembakaran hutan yang terjadi selama 18 tahun tidak pernah tuntas. Menurutnya, selama ini tidak ada upaya penegakan hukum melawan kejahatan yang sistematis dilakukan oleh korporasi. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak memberikan efek jera sedikitpun kepada perusahaan.

“Hukum hanya menjangkau masyarakat atau kalaupun perusahaan, hanya operator di lapangan,” tegasnya.

- Advertisement -
Berita Terbaru
Berita Terkait