BOGOR – Dua LSM yakni Transpransi dan Kampak RI mendesak Kejaksaan Negeri (Kejari) Bogor dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jabar segera menetapkan para tersangka baru kasus Angkahong. Sebab, kasus penggelembungan anggaran pembelian lahan Jambu Dua ini selain diduga melibatkan para pejabat tinggi di lingkungan Kota Bogor, juga telah merugikan keuangan negara.
“Karena sudah ada potensi kerugian negara sebesar Rp28 milyar dari yang semula disepakati pimpinan DPRD Kota Bogor dan Pemkot Rp17,5 miliar. Tapi, malah terjadi kenaikan pada perda. Maka, dugaan mark up ini jelas sudah membuat keuangan negara merugi,” kata Ketua Transparansi, Maradang Hasoloan Sinaga kepada indeksberita.com, Sabtu (27/8/2016).
Dia melanjutkan, pembayaran tersebut sudah dilakukan. Walikota Bima Arya sudah menandatangani perintah membayar senilai Rp43,1 miliar. Bahkan, Walikota menanda tangani Perda No 7 TA 2014 tentang perubahan APBD dan Keputusan Walikota No. 38 tahun 2014 tentang perubahan APBD tahun anggaran 2014 dimana didalamnya terdapat anggaran pengadaan lahan untuk relokasi PKL senilai Rp49, 2 milyar.
Penggelembungan angka itu, sebut aktivis reforma agraria, setelah ada pertemuan lanjutan di Balaikota Bogor usai rapat di gedung dewan yang sudah mencapai angka sepakat.
“Pada persetujuan angka pembayaran Rp17,5 miliar, Ketua DPRD Kota Bogor, Untung Maryono ikut menandatangani. Namun, di dokumen berikut yang berisi perintah membayar senilai Rp43,1 miliar hanya Walikota Bima Arya yang tanda tangan, sementara Untung Maryono sebagai Ketua Badan Anggaran (Banang) DPRD Kota Bogor tidak ikut menandatangani,” tuturnya.
Pada bagian lain, Ketua LSM Kampak, Roy Sianipar juga mendesak agar segera ditetapkan tersangka baru. Menurutnya, kasus skandal Jambu Dua diduga ada penyelewengan duit negara yang menelan angka cukup fantastis hingga miliaran rupiah. Namun, ia menyayangkan Kejari Bogor dan Kejati Jabar masih belum bersikap.
“Hal itu terbukti, sampai hari ini belum adanya penetapan tersangka baru kendati sudah beberapa kali para pimpinan di daerah Kota Bogor diperiksa oleh Kejari dan Kejati beberapa waktu lalu,” ungkap Roy.
Roy Sianipar menegaskan, saat ini publik menunggu keberanian Kejari dan Kejati Jabar untuk mengungkap kebenaran demi hukum yang berkeadilan.
“Semua itu kan kita kembalikan lagi kepada nyali aparat penegak hukum dalam hal ini Kejari atau Kejati. Dan para penegak hukum ini harus mampu bekerja profesional dan proporsional mendalami, baik setiap kesaksian, fakta, barang bukti, serta alat bukti tekait peran masing dari para pihak di lingkungan legislatif maupun eksekutif, selain pihak dari swasta,” kata Roy.
Jika menilik kebelakang, dari pembahasan dan kesepakatan adanya persetujuan antara pihak legislatif dan eksekutif soal nilai untuk pengadaan lahan Jambu Dua sebagaimana telah disahkan Gubernur Jabar sebesar Rp. 17,5 miliar. Namun, belakangan pemkot malah menjadi Rp 43,1 miliar pengadaannya.
“Hal ini menjadi amat sangat aneh dan hampir tidak mungkin, kecuali adanya oknum DPRD dan pemkot. Keterlibaatan ini jelas. Jadi apakah seolah tidak paham atau pura- pura tidak paham atau bahkan mungkin ada upaya cuci tangan,” katanya.
Penyelamatan terhadap oknum yang diduga kuat ikut bermain soal kasus Angkahong, lanjutnya, seolah lupa dalam UU 17 Tahun 2014 tentang MD3, terkait fungsinya soal penganggaran dan pengawasan sesuai pasal 365 Ayat 1 Huruf B dan C. Lalu, soal wewenang dan tugasnya sesuai Pasal 366 Ayat 1 Huruf B tentang membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai APBD Kabupaten Kota yang diajukan oleh Bupati atau Walikota. Dan, huruf C melaksanakan pengawasan terhasap Perda dan APBD Kabupaten atau Kota.
“Jika DPRD tidak lagi cakap dalam menjalankannya sesuai perundangan undangan, maka mereka berpotensi melanggar sumpah jabatannya sebagai anggota DPRD sesuai pasal 369,”tuntasnya. (eko)