Tebalnya berkas perkara Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang menurut Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung, Noor Rachmad, berjumlah 826 halaman dan cepatnya proses penetapan P21 dan pelimpahan ke pengadilan semakin menegaskan bahwa Kejaksaan Agung tidak mengkaji secara serius berkas perkara itu.
Penilaian itu dikatakan Ketua Setara Institute, Hendardi, dalam keterangan persnya, Selasa (6/12/2016) di Jakarta.
“Bagaimana mengkaji 826 hanya dalam waktu yang sangat singkat?” tanya Hendardi.
Alasan memenuhi kehendak publik sehingga kasus itu dipercepat, menurut Hendardi, justru menegaskan bahwa trial by mob atau peradilan oleh massa bekerja efektif dan mempengaruhi independensi jaksa dalam menetapkan keterpenuhan unsur pidana dalam peristiwa pidana.
“Jika tekanan publik menjadi variabel yg berpengaruh pada proses penegakan hukum, maka ini sangat membahayakan sistem peradilan Indonesia ke depan. Cepat dan tanggap itu tidak berarti menegasikan proses yang fair, karena peradilan yang adil (fair trial) adalah hak setiap orang,” ujarnya.
.
Kejaksaan dinilai Hendardi sama sekali tidak menjalankan perannya sebagai dominus litis atau pengendali penyidikan oleh kepolisian dalam sistem peradilan pidana. Kejaksaan lebih menyerupai tukang pos yang hanya mengantarkan berkas dari kepolisian ke pengadilan. Inti dari asas dominus litis ini adalah adanya kontrol secara seksama untuk mendeteksi potensi penyimpangan yang kemungkinan terjadi pada proses penyidikan.
Ditambahkannya, bahwa hingga proses pelimpahan berkas, tampak bahwa profesionalisme dan imparsialitas Kejaksaan Agung terus dipertaruhkan. Kinerja kali ini telah menambah daftar panjang kegagalan Jaksa Agung dalam memimpin Korps Adhyaksa.
“Apapun obsesi Jokowi untuk menjawab kehadiran negara melalui penegakan hukum yg adil akan sulit terwujud. Sudah cukup alasan untuk Jokowi mengganti posisi Jaksa Agung dengan sosok baru yang lebih kredibel dan berintegritas,” pungkasnya.