Diangkatnya Komjen Listyo Sigit Prabowo (Akpol 1991) sebagai Kepala Bareskrim, merupakan bukti Presiden Jokowi dalam posisi menentukan. Bagaimana tidak, dari segi generasi Listyo masih sangat “muda” (Akpol 1991), namun sudah diberi posisi bintang tiga (komjen). Sekadar perbandingan, dari Akmil 1991 baru satu orang dengan pangkat mayjen (bintang dua), yakni Mayjen Teguh Pujo Rumekso (lulusan terbaik Akmi 1991), kini dalam posisi sebagai Komandan Pussenif (Pusat Kesenjataan Infanteri) di Bandung.
Sudah bisa dimengerti bila Listyo diberi kemudahan dalam promosi, karena pernah menjadi Kapolres Solo, saat Jokowi masih Walikota Solo. Kemudian menjadi ajudan (ADC) Jokowi, saat Jokowi baru dilantik pada periode pertama (2014-2016). Dalam menentukan posisi di TNI dan Polri, ada kecenderungan Jokowi memilih kolega-koleganya yang dulu berdinas di Solo.
Tentu ini sah-sah saja. Anggap saja ini bagian dari privilese seorang Panglima Tertinggi. Dan tentu saja cara seperti ini merupakan berkah tersendiri bagi perwira yang pernah bertugas di Solo. Asal sedikit sabar, mereka tinggal menunggu giliran untuk dipromosikan. Bagi kalangan internal TNI, faktor keberuntungan dalam promosi perwira adalah hal biasa, sebagaimana yang sudah-sudah.
Bisa dipahami bila Presiden Jokowi berkepentingan memperkuat jaringan Solo di TNI-Polri mengingat sebelumnya ia kurang bersentuhan dengan dua institusi tersebut. Berbeda dari Presiden SBY yang memang dibesarkan di institusi TNI. Walau bagaimanapun Jokowi melihat, dalam percaturan politik di Tanah Air, posisi TNI (khususnya Angkatan Darat) tetap penting.
Salah satu yang paling terlihat adalah pengangkatan Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai Panglima TNI, mengingat di masa lalu Hadi pernah menjadi Komandan Pangkalan Udara di Solo. Nama lain adalah mantan Dandim Surakarta Kol. Inf. Widi Prasetyono (Akmil 1993) yang diangkat sebagai ajudan, satu periode dengan Komjen Listyo. Widi juga adalah Dandim Surakarta saat Jokowi menjadi Wali Kota Solo. Kini Widi sudah berpangkat brigjen, dalam posisi sebagai Danrem Samarinda.
Selepas menjadi ajudan Presiden Jokowi, karier Listyo demikian melesat. Listyo dipromosikan sebagai brigjen dalam posisi Kapolda Banten, kemudian dilanjutkan sebagai Kepala Divisi Provoost dan Pengamanan (pangkat Irjen Pol), dan kini pos bintang tiga (komjen). Dalam kebiasaan di militer atau Polri, biasanya seorang brigjen mengisi jabatan pada 2 atau 3 posisi, baru dipromosikan . Namun khusus untuk Listyo baru satu jabatan, langsung promosi. Kemudian bila ditelusuri lebih jauh, tidak ada prestasi yang signifikan dari Listyo. Belum ada kasus besar, yaitu kasus-kasus besar yang menjadi perhatian masyarakat, yang pernah diungkap Listyo.
Sebenarnya ini berat bagi Listyo, karena Bareskrim adalah lembaga yang “keras”, dan sudah seperti kerajaan sendiri dalam Polri. Artinya, kalau seorang perwira yang tidak pernah berprestasi, kemudian menjadi pimpinan Bareskrim, dikhawatirkan nanti hanya akan menjadi bahan tertawaan anak buahnya saja. Untuk menepis pesimisme publik, Listyo harus bisa mengungkap kasus Novel Baswedan. Sejak kasus ini terjadi (April 2017), yang terjadi hanya produksi wacana saja, hasil konkretnya tidak pernah ada.
Benar, PR (pekerjaan rumah) terberat Listyo sebagai Kabareskrim baru adalah soal pengungkapan kasus Novel Baswedan, mengingat publik sudah terlanjur pesimis soal pengungkapan kasus Novel, karena kasus ini sangat politis. Dengan kata lain Polri terkesan tidak berniat mengungkap kasus ini. Kita tunggu saja, semoga ada kemajuan dalam pengungkapan kasus Novel dalam kendali Listyo. Masyarakat sudah bosan diberi “harapan palsu”.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.