Orientasi partai politik yang tidak mau mengeluarkan dana kampanye, bahkan kalau perlu mendapatkan keuntungan dari proses pencalonan kandidat (yang biasa disebut dengan “sewa perahu), yang membuat partai politik lebih mengutamakan calon kandidat yang memiliki dana yang besar. Karena hanya kandidat yang memiliki dana yang sangat besar saja yang bisa membiayai dana untuk kampanye dan membayar “sewa perahu” tadi.
Hal tersebut dipaparkan oleh ketua JPPR (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat) Masykurudin Hafidh kepada indeksberita.com, Minggu (7/8/2016).
“Dari keseluruhan dana kampanye yang dibutuhkan, hanya 10% yang dikeluarkan dari partai politik pengusung, sisanya oleh calon kandidat tadi. Yang keluar dari parpol, juga sering berasal dari kandidat juga. Belum lagi untuk menemui konstituen lainnya digunakan cara-cara transaksional. Bisa dibayangkan betapa besarnya dana yang harus dimiliki oleh kandidat,” katanya.
Undang-undang melarang politik uang, maka lembaga pemantau pemilu seperti JPPR akan mengawasi proses pelaksanaan pemilu atau pilkada, dengan pedoman undang-undang tadi. Batasan apa saja, dan bagaimana definisinya sehingga seorang kandidat dapat disebut melakukan politik uang, dijelaskan Masykurudin: “Ada pembatasan biaya kampanye, sebesar Rp.50.000 untuk setiap orang, dimana Rp.25.000 untuk bahan kampanye, 25.000 untuk transportasi dan konsumsi. Di atas biaya tersebut sudah melakukan pelanggaran undang-undang. Tetapi untuk penyelenggara pemilu tak ada batasan, menerima uang seberapa pun dianggap pelanggaran”.
Politik uang yang bersifat terstruktur, adalah adanya aparatur pemerintah atau penyelenggara pemilihan yang terlibat menggunakan dana negara dalam praktik politik uang,
Penjelasan tentang poltik uang yang massif, adalah terjadi di setiap kecamatan dalam rentang waktu pelaksanaan tahapan Pilkada.
Dan yang dimaksud politik uang yang bersifat sistemik, itu dilakukan oleh setiap level pelaku praktik politik uang, dengan segala perencanaan dan strateginya.
Walaupun sudah ada undang-undang yang membatasinya, bukan berarti politik uang dengan mudah berhenti. Politik uang akan berhenti jika ada kesadaran dari parpol dan kandidat untuk menghentikannya.
“Politik uang seperti teori supply dan demand. Jika ada demand atas politik uang di masyarakat, tetapi supply di kandidat tak ada, maka transaksional tidak terjadi. Jadi yang perlu dibenahi, kandidat dan parpolnya. Sehingga jika ada inisiatif untuk menghentikan praktek ini, dengan mengusung kandidat yang memiliki kompetensi dan integritas, bukan yang hanya banyak uang, ini maka perlu di dukung,” penutup Masykurudin. (Baca: http://www.indeksberita.com/penjaringan-kandidat-parpol-perlu-libatkan-kpk-dan-kejaksaan/).
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.