Masyarakat Indonesia mengenal Jogjakarta sebagai kota yang ramah dan nyaman. Kota pariwisata yang menjunjung tinggi seni, budaya dengan beragam situs sejarah. Dan tak lupa, Jogyakarta adalah kota yang sesak dan pengap oleh akademisi muda yang hijrah dari seluruh pelosok nusantara. Berbagai gelar diperoleh kota ini sejak dahulu kala, baik sebagai kota pelajar, kota perjuangan, pariwisata maupun seni budaya. Kini gelar barupun diperoleh-nya sebagai “kota penuh mimpi”, karena kini Jogjakarta tidaklah seramah dan senyaman yang masyarakat kira.
Hiruk pikuk Jogjakarta tidak jauh sebagaimana kota metropolitan lainnya, kemacetan merajalela, polusi merampas ruang udara, sampah visual dimana-mana dan pusat perbelanjaan mengalahkan pasar tradisional. Lalu manakah yang istimewa dari kota ini apabila semua terlihat sama. Yang mereka rasakan semuanya terlihat begitu fana, yang jelas adalah peran investor dalam memporak-porandakan kota tua. Sesungguhnya, para pemodal besar baik dalam negeri maupun asing memiliki andil dalam reka jejak Jogjakarta hingga menjadi kota yang “kota penuh mimpi”. Lihat saja, tanpa adanya mereka, tidak ada hotel, apartemen dan pusat perbelanjaan megah berdiri. Kemegahan itu tentunya belum seberapa, masih ada mimpi-mimpi lainnya yang belum menjadi nyata.
Coba resapi visi kota mimpi ini, “Terwujudnya Kota Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan Berkualitas, Berkarakter dan Inklusif, Pariwisata Berbasis Budaya, dan Pusat Pelayanan Jasa, yang Berwawasan Lingkungan dan Ekonomi Kerakyatan”. Lalu apa yang kita lihat? Katanya mau mewujudkan pendidikan berkualitas, berkarakter dan inklusif, eh, pusat perbelanjaan dimana-mana. Lucunya, jarak pusat perbelanjaan dengan beberapa kampus di Jogjakarta tidak sampai satu kilo jauhnya, bahkan ada yang berhadapan. Bukannya memperbanyak perpustakaan, malah membudayakan perilaku konsumtif para cendikiawan.
Bukan main pembangunan kota Jogjakarta, dengan melihat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPMJ) 2007-2011, yang katanya “meningkatkan ketersediaan sarana dan pra-sarana lalu lintas mencapai 30%”, kini yang bisa dilihat hanyalah kemacetan dimana-mana. Jangan salahkan ibu-ibu yang sen kiri tapi belok kanan, jangan salahkan polisi yang tidak becus mengatur kendaraan, salahkan saja pusat perbelanjaan yang berdiri di samping sempitnya pinggir jalan.
Melihat Yogyakarta yang merupakan kota pariwisata, maka pembangunan hotel merupakan peluang bisnis yang menggiurkan. Hingga akhir tahun 2013, terdapat 106 izin mendirikan bangunan (IMB) hotel yang tercatat di Dinas Perijinan Kota Yogyakarta. Hingga akhirnya, pada tahun 2014, Pemkot menerbitkan moratorium pembatasan IMB hotel hingga akhir tahun 2016.
Lucunya, ditahun yang sama dengan penerbitan moratorium, terdapat 10 dari 23 Hotel di Yogyakarta yang juga melanggar Perda Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2012 tentang Bangunan Gedung yang beberapa diantaranya tidak memiliki sumur resapan air, alhasil berpotensi mengurangi debit air tanah. Alih-alih meningkatkan perekonomian kota melalui pembangunan hotel-hotel megah, pemodal besar malah mengebiri hak warga dalam memperoleh air bersih. Yang menjadi pertanyaan, apakah yang bisa diperbuat warga Jogjakarta? Jawabanya tidak ada. Yang warga miliki hanyalah sertifikat hak guna tanah kesultanan. Spanduk-spanduk protes hanyalah menjadi hiasan jalanan.
Lalu dimanakah keistimewaan kota penuh mimpi ini? Adakah kemaslahatan dari kota sejuta pembangunan? Kini Jogjakarta bukanlah kota yang dahulu masyarakat kenal, tidak lagi seramah dan senyaman yang masyarakat kira. Jogjakarta kini hanyalah kota metropolitan biasa.