
Pada akhir tahun sebuah diskusi “Seni dan Aktivisme” digelar di Univ Sanata Dharma. Salah satu pembicara JRX, penabuh drum Superman is Dead (SID) yang juga pegiat antireklamasi Teluk Benoa. Para mahasiswa dan peserta diskusi lainnya, memahami betul mengapa para aktivis, seniman, pegiat lingkungan, dan aktivis gerakan lainnya bahu-membahu menolak reklamasi. Selain alasan ekologis, alasan lain adalah tanah hasil reklamasi itu akan dibangun arena wisata semacam Disneyland. Ini jelas “penghinaan” terhadap Bali terutama dunia wisatanya yang mengandalkan alam dan budaya. Wisatawan datang ke Bali tentu ingin menyaksikan keunikan pulau ini. Apa bedanya Bali dengan Hongkong dan Tokyo jika ada Disneyland?
Jogja yang merupakan Daerah Tujuan Wisata (DTW) kedua setelah Bali tampaknya mempunyai masalah kurang lebih sama. Pemerintah semakin mudah memberikan izin membangun mal. Bayangkan kota sebesar Jogja memilikii banyak mal di berbagai sudut kota: Malioboro Mall, Jogja City Mall, Mal Galeria. Ambarukmo Plaza, Lippo Mall, Sahid Mal, dan Hartono Mall. Kehadiran banyak mal membuat Jogja tak unik lagi sebagai sebuah kota wisata dan budaya.
Kehadiran mal diperparah dengan hadirnya obyek wisata air semacam Jogja Bay, yang baru dibuka. Ada beberapa waterpark atau waterbyur sejenis di Jogja. Sungguh ini merupakan obyek wisata yang “nganeh-anehi”. Konon Jogja Bay dibuka ketika musim hujan tiba. Apa jadinya jika musim kering melanda. Warga sekitar tentu akan dirugikan karena air disedot oleh obyek wisata bermodal besar itu. Pada sebuah liputan CNN TV beberapa minggu lalu, warga ditanya tentang kehadiran Jogja Bay, “Saya senang Jogja Bay menjadikan Jogja seperti Jakarta.”