Minggu, 24 September 23
Beranda Featured Janji Jokowi Tuntaskan Kejahatan Kemanusiaan 1965 Terus Ditagih

Janji Jokowi Tuntaskan Kejahatan Kemanusiaan 1965 Terus Ditagih

Janji Jokowi Tuntaskan Kejahatan Kemanusiaan 1965 Terus Ditagih

Pengungkapan kebenaran tentang kejahatan serius di masa lalu, baik kejahatan terhadap kemanusiaan maupun genosida suatu kelompok politik, bukan hanya merupakan salah satu pilar hak-hak korban atau penyintas atas kebenaran dan keadilan, tapi juga merupakan hak publik untuk tahu.

Majelis Hakim Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal) dalam sidang di Den Haag Belanda 10-13 November 2015 telah mengeluarkan putusan dan rekomendasi pada 20 Juli 2016. Putusan tersebut tertuang dalam Laporan Akhir IPT65 mengenai Kejahatan terhadap Kemanusiaan di Indonesia (1965-66 dan sesudahnya). Berbagai kesaksian, temuan, serta fakta-fakta mengenai kejahatan yang berskala luas dan masif tersebut telah diungkap dalam persidangan IPT65.

Pada 29 April 2017 di STPMD “APMD” Yogyakarta digelar Seminar Sehari “Jalan Keadilan bagi Penyintas: Memahami Genosida 65-66 dan Sesudahnya”. Tampil sebagai pembicara adalah Prof. Akihisa Matsuno (Osaka University, Jepang), Prof. Asvi Warman Adam (LIPI Jakarta), Dr. Budiawan (UGM Yogyakarta), Asfinawati (Ketua YLBHI, Jakarta), dan Harry Wibowo (IPT65 Jakarta). Sementara Mariana Amiruddin (Komnas Perempuan) dan Reza Muharam (SC IPT65) menjadi penanggap utama.  Dua sesi seminar itu dimoderatori oleh Dianto Bachriadi (Komnas HAM) dan Bonnie Triyana (Pemimpin Redaksi Majalah Historia).

Prof. Akihisa tampil menjelaskan tentang genosida dan kelompok politik. Profesor yang pernah bertugas di CAVR Timor Leste serta meneliti di Bali itu membandingkan berbagai kejahatan kemanusiaan di berbagai belahan dunia seperti Chile, Bosnia, Rwanda, Tiongkok, dan Kamboja. Menurut Akihisa, apa yang terjadi pada tahun 1965-1966 di Indonesia jelas kejahatan kemanusiaan yang berskala luas dan masif namun para ahli hingga kini masih berdebat apakah hal itu bisa disebut genosida atau bukan. “Belum ada kesimpulan tegas dan jelas. Konsep hukum selalu berubah dan disesuaikan dengan perkembangan zaman,” kata Akihisa.

Dosen Kebijakan Publik Internasional dari Universitas Osaka itu menambahkan, indikasi genosida tersebut belum ada kejelasan. Yaitu apakah indikasi genosida tersebut menggunakan konsep kemanusiaan ataukah bisa dengan konsep politik. Akihisa menilai kasus 65 lebih dari sekedar kejahatan kemanusiaan. Mengingat pembantaian kasus 65 bukan atas dasar isu suku, agama, ras, maupun antar golongan. Melainkan lantaran pilihan politiknya.
Mengakhiri sesi pertama Dianto Bachriadi mengatakan bukan tidak mungkin kasus 65 bisa berulang kembali saat ini atau mendatang. “Tandanya sudah ada. Polanya jelas. Kelompok lain sudah jadi incaran kelompok politik lain. Artinya jaminan keberlangsungan keamanan tak ada di negeri ini,” kata Dianto.

Bonnie Triyana mengantar diskusi sesi kedua. Ia heran dengan berbagai macam tuduhan, terkait dugaan kebangkitan PKI. PKI sudah dibubarkan sejak 12 Maret 1966. Ratusan ribu anggotanya tewas, puluhan ribu lainnya dipenjara dan proyek stigmatisasi dilakukan untuk menumpas setiap potensi kemunculannya. “Saya sedikit curiga kenapa isu kebangkitan PKI banyak digunakan oleh kelompok tertentu: pertama, ia berfungsi sebagai pembangkit trauma massa atas narasi yang pernah dibangun oleh rezim Soeharto. Kedua, dengan mengidentikan Jokowi dan partai pendukungnya sebagai PKI maka legitimasi kekuasaan bisa dengan mudah dikikis perlahan sampai tumbang sama sekali,” paparnya. Satu-satunya dugaan yang paling mungkin adalah: isu PKI dihidupkan dalam rangka kontestasi politik. Dengan stigma ini, kampanye relatif lebih murah dan efektif melempangkan jalan menuju kekuasaan. Dalam pilkada di Jakarta dan Banten nyata sekali isu PKI dihembuskan untuk pemenangan satu pasangan sekaligus memojokkan pasangan lainnya.

Prof Asvi yang juga hadir pada IPT65 di Den Haag mengatakan dalam dua tahun terakhir, berbagai temuan-temuan baru juga terus diungkap kepada publik, seperti berbagai temuan dan kesaksian mengenai puluhan kuburan massal dan kamp kerja paksa di Jawa Barat. “Jadi kejahatan kemanusiaan itu tak hanya di Pulau Buru atau Plantungan di Jawa Tengah tempat semacam kamp Gulag di Uni Sovyet, juga ada di berbagai tempat seperti Sumatera, meskipun skalanya tak sebesar di Pulau Buru,” kata Asvi. Asvi berharap masyarakat makin berani berbicara dan menunjukkan bukti-bukti baru terkait kejahatan kemanusiaan yang masif dan berskala besar pada 1965 dan sesudahnya.

Asfinawati menjelaskan beberapa kegiatan pendampingan terhadap penyintas di beberapa tempat terkait penyerobotan tanah atau rumah oleh pihak lain sejak 1965. Juga ada penyintas yang memerupakan salah tangkap. Tentang penyerobotan properti menurut Budiawan pelakunya ada yang merupakan organisasi massa, Mereka terus melakukan aksi kekerasan salah satu sebabnya untuk menutupi aksi perampokan atas properti milik para penyintas. Organisasi mereka juga sering bersalin rupa dari front anti ke bela negara.

Usai seminar diadakan konperensi pers. Reza Muharram di depan media mengatakan Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, termasuk peristiwa 1965-1966 harus terus ditagih. Janji ini yang diucapkan Jokowi ketika kampanye menjelang pemilihan presiden pada 2014 lalu hingga tiga tahun ini sama sekali belum ada tanda-tanda akan diselesaikan secara serius. “Janji Jokowi itu sudah masuk RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional). Harus ditagih terus,” kata Reza.

Akibat belum dituntaskannya kasus 65, sering terjadi perlakuan represif terhadap elemen-elemen masyarakat yang menginginkan pengungkapan kebenaran kasus 65. Seperti tindakan pembubaran dan pelarangan sejumlah diskusi, pemutaran film, dan kegiatan-kegiatan dengan pemberian stigma komunis. Termasuk tudingan kemunculan komunis gaya baru kepada orang-orang atau elemen masyarakat yang menginginkan pengungkapan kasus tersebut.

Menurut Reza, hal baru yang terungkap dalam Pengadilan IPT 65 adalah adanya indikasi kejahatan genosida. Hasil itu telah memperkuat dugaan terjadinya kejahatan kemanusiaan sebagaimana laporan Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) pada 2012. Reza berharap dokumen hasil siding itu menjadi dokumen terbuka untuk dikembangkan lebih lanjut.

Untuk mendapatkan kesimpulan yang jelas dan tegas dari kasus tersebut, Reza yang kini bermukim di Ambon, Maluku, mengajak semua elemen masyarakat membentuk gerakan mengungkap kebenaran kasus 65. Salah satu caranya adalah apabila menemukan kuburan massal di suatu daerah bisa menghubungi IPT untuk melakukan klarifikasi. Begitu pula apabila bertemu dengan penyintas yang usianya di atas 70 tahun bisa merekam kesaksiannya.